Dalam tradisi Hindu Bali, pernikahan adalah sebuah sakralitas yang tidak hanya mengikat dua insan tetapi juga melibatkan hubungan antar keluarga dan komunitas. Namun, terdapat beberapa bentuk pernikahan yang dianggap tidak sesuai dengan norma dan nilai-nilai agama serta adat setempat.
Berikut ini adalah enam jenis pernikahan yang dilarang dalam Hindu Bali.
1. Inces atau Gamia-Gamana
Gamia-Gamana adalah bentuk perkawinan yang berasal dari hubungan sedarah atau hubungan kekeluargaan yang sangat dekat. Perbuatan ini dianggap sangat dursila atau tidak bermoral. Contoh dari hubungan yang termasuk Gamia Gamana adalah memperistri ibu kandung, mengambil saudara kandung, keponakan, atau cucu sebagai istri.
Pelaku pernikahan jenis ini diyakini akan mendapatkan siksaan di alam neraka (Bhur Loka) oleh rakyat Batara Yama, dan dalam kehidupan selanjutnya, mereka akan menderita kesengsaraan tanpa henti.
2. Makedeng-kedengan Ngad
Nganten makedeng kedengan Ngad adalah istilah yang digunakan saat dua keluarga melakukan pertukaran anggota keluarga melalui pernikahan. Misalnya, keluarga A memiliki anak laki-laki yang menikahi anak perempuan dari keluarga B, dan sebaliknya, keluarga B juga memiliki anak laki-laki yang menikahi anak perempuan dari keluarga A.
Praktik ini dilarang karena diyakini bisa membawa bahaya bagi kedua mempelai dan keluarganya, sering kali berupa penyakit atau nasib buruk.
3. Ngulihang Bengbengan
Ngulihang Bengbengan adalah perkawinan di mana seorang perempuan diambil sebagai istri oleh laki-laki dari keluarga inti asal ibunya. Meskipun dampaknya tidak persis sama dengan Makedeng Ngad, pernikahan jenis ini juga diyakini membawa hal-hal buruk yang tidak diinginkan.
Kata “ngulihang” berarti mengembalikan, dan “bengbengan” mengacu pada tempat ayam bertelur, yang melambangkan perempuan.
4. Tulak Wali
Tulak Wali bukan hanya terkait dengan pernikahan, tetapi lebih ke etika pemberian. Tulak Wali adalah larangan untuk meminta kembali barang atau benda yang sudah diberikan dengan tulus ikhlas kepada orang lain. Dalam konteks pernikahan, jika ada hadiah yang pernah diberikan dalam proses pernikahan, maka tidak boleh diminta kembali. Ini mengandung muatan etika yang sangat tinggi dalam masyarakat Bali.
5. Ngarangda Tiga
Ngarangda Tiga adalah pernikahan di mana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang telah tiga kali menikah sebelumnya. Perempuan tersebut melakukan pernikahan untuk yang keempat kalinya. Kepercayaan masyarakat Bali menyebut bahwa laki-laki yang memperistri perempuan dengan sejarah pernikahan seperti ini akan mengalami kehidupan yang sulit atau bencana.
Jika ketiga suami sebelumnya meninggal, maka suami keempat diyakini akan bernasib sama, menghadapi kesulitan besar atau kematian.
6. Megat Jalan
Megat Jalan adalah perkawinan di mana mempelai perempuan atau calon istri berasal atau memiliki rumah yang terletak tepat di seberang jalan rumah mempelai laki-laki, atau pintu masuk rumah mereka saling berhadapan.
Larangan ini mungkin tidak memenuhi logika ilmiah, tetapi dalam tradisi dan keyakinan masyarakat Bali, pernikahan ini diyakini akan membawa nasib buruk. Mitos ini lahir dari berbagai bukti dan persepsi awal yang kemudian mendoktrinasi masyarakatnya.
Kesimpulan
Pernikahan dalam tradisi Hindu Bali tidak hanya melibatkan dua individu tetapi juga menyatukan dua keluarga dan komunitas. Oleh karena itu, penting untuk mematuhi aturan dan larangan yang ada untuk menjaga keharmonisan dan kesejahteraan bersama.
Keenam bentuk pernikahan yang disebutkan di atas dilarang karena berbagai alasan etis, moral, dan spiritual, yang semuanya bertujuan untuk menjaga keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. (TB)