Pemerintah Provinsi Bali terus menaruh perhatian besar terhadap isu kesehatan jiwa, khususnya terkait penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Berdasarkan data Sistem Informasi Kesehatan Jiwa (Simkeswa) tahun 2024, Kabupaten Tabanan tercatat sebagai wilayah dengan jumlah ODGJ tertinggi di Bali, yaitu sebanyak 705 orang.
Menyusul di posisi berikutnya adalah Kabupaten Buleleng dengan 356 kasus dan Kota Denpasar dengan 353 kasus.
Jenis gangguan mental yang paling umum ditemukan di seluruh wilayah adalah skizofrenia.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr. I Nyoman Gede Anom, menegaskan bahwa tidak ada lagi praktik pemasungan terhadap ODGJ di seluruh Bali. Hal ini, kata dia, merupakan hasil dari pemantauan ketat dan kerja sama lintas sektor.
“Sudah tidak ada lagi pemasungan. Pengawasan dilakukan secara berkala dengan melibatkan dinas kesehatan kabupaten/kota, Rumah Sakit Jiwa Manah Shanti Mahottama, serta berbagai lembaga pemerhati kesehatan jiwa,” ungkap dr. Anom saat ditemui pada Selasa 30 April 2025.
Dalam upaya meningkatkan kualitas layanan, pemerintah telah menyiapkan berbagai fasilitas dan layanan untuk penanganan ODGJ.
Di antaranya 120 puskesmas dan sembilan rumah sakit milik pemerintah yang menyediakan layanan rawat jalan, mulai dari pemberian obat, edukasi, pemantauan pengobatan, hingga kunjungan rumah.
Untuk kasus rawat inap, Provinsi Bali memiliki Rumah Sakit Jiwa Manah Shanti Mahottama yang juga aktif dalam peningkatan kapasitas tenaga kesehatan di fasilitas lain.
Selain itu, pemerintah daerah turut mendorong pembentukan Posyandu Kesehatan Jiwa (Keswa) di sejumlah wilayah.
Fasilitas ini berperan penting dalam deteksi dini, mendukung keberlanjutan pengobatan, dan menjangkau ODGJ serta keluarganya di tingkat komunitas.
“Posyandu Keswa dibentuk dengan sasaran yang spesifik. Ini penting untuk mengurangi angka putus pengobatan dan memperluas jangkauan skrining serta identifikasi terhadap orang dengan masalah kejiwaan (ODMK),” jelas dr. Anom.
Meski demikian, ia mengakui bahwa masih banyak tantangan yang dihadapi dalam penanganan kesehatan jiwa di Bali.
Beberapa di antaranya adalah kurang optimalnya koordinasi lintas sektor, rendahnya efektivitas edukasi publik, keterbatasan fasilitas yang menangani rawat jalan, dan persoalan regulasi yang menyulitkan akses obat bagi ODGJ.
Sebagai contoh, aturan dari BPJS Kesehatan mengharuskan pasien datang langsung ke puskesmas untuk mengambil obat, yang tidak selalu memungkinkan bagi ODGJ.
Di sisi lain, keberadaan Posyandu Keswa pun menghadapi perubahan struktural karena digabungkan ke dalam Posyandu Siklus Hidup, sehingga fokus khusus pada ODGJ menjadi berkurang.
Untuk diketahui, menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, prevalensi ODGJ di Bali berada di angka 1,4 per mil, lebih rendah dari rata-rata nasional yang tercatat sebesar 4,0 per mil.
Inisiatif pemerintah ini diharapkan terus berkembang seiring peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan jiwa, demi menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung bagi penyintas gangguan jiwa di Bali. (TB)
Foto Ilustrasi penanganan ODGJ berkeliaran di Denpasar