Nyepi saka 1942 tahun 2020 dilaksanakan pada hari Rabu, 25 Maret 2020. Sehingga
untuk Pangerupukan akan dilaksanakan sehari sebelumnya yaitu Selasa, 24 Maret
2020.
salah satu ciri khas dari Pangerupukan ini yaitu dilaksanakannya prosesi
mengarak ogoh-ogoh. Berbagai macam ogoh-ogoh akan diarak berkeliling desa
ataupun kota. Untuk mempersiapkan pangerupukan ini, sekaa teruna bahkan sudah
jauh-jauh hari mempersiapkannya yang diawali dengan membuat sketsa dari
ogoh-ogoh yang akan dibuat.
82 sketsa ogoh-ogoh yang akan dibuat oleh sekaa teruna di Bali yang sudah
tersebar di media sosial dan dirangkum TelusurBali.com.
Sketsa
ogoh ogoh St. Putra Baruna, Br. Delodpadonan, Pererenan, Badung berjudul
Bawi Srenggi. Sketnya bisa dilihat di akun instagram @stt_putrabaruna
Sewu
Ogoh-ogoh
dari STT Yowana Manggala Bhakti, Banjar Karang Sari, Desa Dangin Puri Kaja,
Denpasar bertajuk Krisna Murti Sang Brahala Sewu. Dikutip dari akun instagram @sttyowanamanggalabhakti
mengangkat kisah Mahabharata.
cerita Prabu Kresna datang jauh-jauh dari Dwarawati bersama pasukannya menuju
Hastinapura untuk meminta Duryudana menyerahkan hak Pandawa atas sebagian tanah
Hastinapura. Hukuman diasingkan pun sudah dijalankan para Pandawa.
Bisma pun meminta sang raja Duryudana untuk menyerahkan hak Pandawa. Namun
keculasan Duryudana untuk menguasai Hastinapura tidak surut. Para tetua yang
hadir bersama Durjudana pun terdiam dibawah keangkuhan Durjudana. Prabu Kresna
kecewa mendapati hal ini.
Kresna dengan amarah yang semakin memuncak menuju ke halaman istana
Hastinapura. Disanalah ia bertiwikrama menjadi raksasa Brahala Sewu. Raksasa
yang bisa menggetarkan Jongring Saloka.
ST
Yowana Jaya, Banjar Lebah, Denpasar tahun 2020 membuat ogoh-ogoh berjudul Bhuta
Tawon Tangis. Ceritanya yakni mengangkat tentang filosofi tawon di Bali.
dari akun @st.yowanajaya disebutkan salah satu keunikan budaya
bali adalah menyelami segala ciri alam untuk dipelajari demi kebaikan
masyarakatnya, salah satunya adalah mengamati adanya binatang lebah (tawon)
yang kadangkala bersarang di bangunan bali, baik rumah, pelinggih maupun
bangunan lainnya.
janganlah mengusik keberadaan Lebah, jika itu mengganggu cukuplah menyomia
dengan upakara “Durmangala Prawesa”,” tulis akun tersebut.
4. Raja Taksaka
STT Kumara Chanti, Banjar Petang Kelod, Desa Adat Petang, Kecamatan Petang
Badung membuat ogoh-ogoh berjudul Raja Taksaka. Sketsanya bisa dilihat di @stt.kumara_chanti
Badung.
STT
Kertha Budhi, Banjar Pengembungan,Pererenan,Mengwi Badung tahun 2020 mengangkat
ogoh-ogoh berjudul Mabang Sumirat.
Sang
Tri Semaya merupakan ogoh-ogoh karya St. Putra Tunggal, banjar Belulang Kapal, Mengwi,
Badung. Kisahnya diangkat dari lontar Barong
Swari. Dalam lontar tersebut ada disinggung terjadinya tarian Barong, dimana
diceritakan pada waktu Bhatari Uma dikutuk oleh Bhatara Guru (Hyang Siwa),
menjadi Durga Dewi (Dewi Rohini).
Dewi Durga/Rohini beryoga, menghadap utara, menciptakan “gering lumintu“, yakni
penyakit yang menyebar terus menerus. Beryoga menghadap ke barat, menimbulkan
“gering amancuh“, yakni penyakit menular. Beryoga menghadap ke selatan, timbul
“gering rug bhuwana“, yakni penyakit yang mematikan. Beryoga menghadap ke
timur, timbul “gering ngutah bayar“, yakni muntah berak.
Demikian juga dari yoganya melahirkan para bhutakala yang beranekaragam dan
para bhutakala itu bergembira dan berpestapora. Dengan timbulnya bermacam-macam
penyakit, maka terancamlah manusia di dunia maya ini. Bhatara Siwa Guru, karena
telah lama berpisah dengan Dewi Uma/Rohini, maka beliau turun ke dunia
mengambil wujud Sanghyang Rudra Kala.
beliau berdua dapat bertemu, dengan mengambil wujud sama-sama angker, lupa
dengan sifat-sifat ke-dewa-an (suri sampat), hanya menjalankan hawa nafsu
ke-raksasa-an (asuri sampat). Dengan melihat kejadian itu Sanghyang
Tiga/Sanghyang Tri Murti, berbelas kasihan melihat kejadian dunia yang hancur
sedemikian rupa, beliau turun ke dunia, untuk menyelamatkan manusia dari
kehancuran, dengan jalan merubah diri, seperti:
Bhatara Brahma, mengambil wujud menjadi Topeng Bang.
* Bhatara Wisnu, mengambil wujud menjadi Telek.
* Bhatara Iswara, mengambil wujud menjadi Barong.
beliau meruwat/menyucikan alam beserta isinya, hal ini diwujudkan dalam bentuk
“ngalawang“, yang mana Topeng Bang, Telek dan Barong menari/masolah dari pintu
rumah ke pintu rumah yang lain, yang disebut “ngalalu lawang“, sehingga larilah
para bhutakala dan segala penyakit yang menimpa manusia dan alam.
Barang siapa yang ingin mendapat perlindungan dari Sanghyang Tri Murti, maka
pada waktu ada “Barong Ngalawang“, mereka mempersembahkan canangsari, dengan
berisi sesari (uang), sebagai dasar permohonan. Di tempat mana ada orang
maturan, di sana pula Topeng Bang, Telek dan Barong menari, sebagai lambang
mengusir kekuatan negatif.
Stt.
Dwi Panca Wisma, Banjar Tegal Kajanan, Tegal Tugu, Gianyar membuat ogoh-ogoh
berjudul Tanting Mas Tanting Rat yang merupakan sebuah teks yang menguak
Perjalanan Walu Nateng Dirah.
dari akun instagram @stt.dwipancawisma disebutkan raja di Pedegelan yang
sangat pandai dalam semua jenis ilmu pengetahuan yang utama. Pada suatu hari
raja berembug denga permaisuri mengenai sebab tidak mempunyai putra, maka
menghadaplah beliau ke pura Dalem untuk madewasraya. Lalu turulah sabda dari
langit yang berpesan bahwa raja dan permaisuri itu akan mempunyai keturunan
dengan satu syarat, dalam perjalanan pulang nanti ke istana beliau tidak
diperkenankan menoleh kanan-kiri ataupun berkata-kata. Tetapi sang raja dan
permaisurinya lupa dengan sabda itu. Dalam perjalanannya pulang ke istana
beliau melihat dua ekor anak babi yang lucu dan gemuk, mereka berkeinginan
mempunyai anak seperti anak babi itu.
Tidak diceritakan berapa lama wktunya akhirnya sang permaisuru melahirkan anak
kembar laki-laki dan perempuan akan tetapi yang lahir adalah babi, sesuai
dengan perkataan beliau terdahulu. Oleh karena itu dibuanglah kedua anak babi
itu ke kuburan. Babi yang perempuan kemudian bertapa di pura kahyangan dan babi
yang laki-laki bertapa di Pura Dalem.
Anak babi yang perempuan didatangi oleh Bhatari Durgha dan memberi sang anak
kesaktian tanpa tanding dengan wajah yang sangat cantik yang bernama Tanting
Mas. Lalu disuruh pergi ke negeri Dirah sedangkan anak babi yang laki-laki
didatangi oleh Bhatara Siwa dan diberi anugrah darma kepemangkuan, anak babi
laki-laki babi itupun berubah menjadi anak yang tampan dan diberi nama Tanting
Rat. Setibanya di jaba pura kakak-beradik itu berembug dan sepakat untuk ke
negeri Dirah sesuai anjuran Bhatari Durgha.
Setelah sampai di Dirah dan bertemu sang raja Tanting Mas pun dijadikan
permaisuri dan adiknya Tanting Rat diangkat menjadi pendeta istana dan diberi
gelar Mpu Peradah. Dari hasil pernikahannya dengan sang raja Tanting Mas
mempunyai anak yang bernama Ratna Manggali.
Pada suatu hari ketika Tanting Mas sedang menenun dan sang raja sedang
mengadakan pertemuan Ratna manggali merengek-rengek lalu diperintahkan oleh
ibunya untuk mencari sang ayah. Tiba di tempat sang ayah diperintahkan lagi ke
tempat sang ibu. Tanting Mas pun marah dan menatap tajam sang raja.
Dewi Durga merupakan ogoh-ogoh yang dibuat oleh St. Krisnamulia, Perum Taman
Krisna Permai Tegal Jaya Falling, Kerobokan, Badung. Ogoh-ogoh Dewi Durga ini memcerminkan
jiwa nya yang anggun dan membantai sifat yang dengki.
Sekaa Teruna Bhuana Kusuma, Br. Pesalakan Tuban, Badung, membuat ogoh-ogoh
berjudul Dharmaraja. Sketsa bisa dilihat di @st.bhuanakusuma
Sang Bhuta Lilipan
STT
Widya Karya Banjar Pempatan Munggu, Mengwi, Badung, Bali membuat ogoh-ogoh
berjudul Sang Bhuta Lilipan. Diceritakan Bhuta Lilipan adalah makhluk penghuni
Tegal Penangsaran atau Neraka dalam mitologi Hindu Bali, ia merupakan golongan
Chikrabala atau Jinkarabala yaitu pasukan Dewa Yama yang tugasnya menghukum dan
menyiksa arwah-arwah yang selama hidupnya lebih banyak melakukan kejahatan
ketimbang kebaikan.
.
Dalam Kekawin Bhimaswarga, Bhuta Lilipan digambarkan dalam wujud binatang
raksasa bertubuh singa namun kepalanya menyerupai gajah, memiliki gading dan
belalai, cakarnya sangat tajam, air liurnya beracun dan sekujur tubuhnya
mengeluarkan api, Bhuta Lilipan memiliki tugas menghukum arwah orang mati yang
selama hidupnya di dunia fana telah banyak membunuh hewan yang tidak sepatutnya
dibunuh atau membunuh hewan dengan cara yang tidak manusiawi.
Stt.Tri
Eka Dharma, Br.Jeroan, Padang luwih, Dalung membuat ogoh-ogoh berjudul “Mesalaran
Tipat Bantal”.
St.
Eka Dharma Shanti, Banjar Berawa, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Badung
membuat ogoh-ogoh berjudul Kereb Akasa. Kereb Akasa atau ajian Kereb Akasa
merupakan salah satu ilmu leak tingkat tinggi dimana penggunanya bisa berubah
wujud menjadi sebuah kain putih yang sangat panjang. Perlu waktu bertahun-tahun
bagi orang penekun leak untuk mencapai tingkatan ini dan harus tekun memuja
Dewi Durga Birawi yang berstana di Pura Dalem, karena Kereb Akasa adalah
kerudung beliau.
“Kereb” berarti kerudung dan “Akasa” berarti langit, Kereb
Akasa bisa diartikan kerudung yang mampu menutupi langit, dimuat dalam berbagai
lontar di Bali, saat Dewi Durga turun ke bumi beliau membawa sebuah kain sutra
putih yang digunakan sebagai kerudungnya, lalu kerudung tersebut dihidupkan menjadi
mahkluk halus yang menjadi salah satu “ancangan” atau bawahan Dewi
Durga, mahluk halus itulah yang kemudian disebut sebagai Kereb Akasa.
dari ancangan Dewi Durga inilah yang kemudian ditiru oleh penekun ilmu leak.
Perbedaan antara Kereb Akasa mahkluk halus ancangan Dewi Durga dengan Kereb
Akasa jadi-jadian manusia penganut ilmu leak. Menurut penuturan orang yang
pernah melihat Leak Kereb Akasa, kemunculannya selalu diawali dengan bau anyir
seperti mayat kemudian terlihat sesosok kain putih usang yang membentang sangat
panjang serta dipenuhi dengan kotoran tanah terbang meliuk-liuk kesana kemari.
Leak Kereb Akasa sangat jarang menyerang kecuali, ada orang yang berkata-kata
kotor atau bertindak sembarangan ketika berpergian, sehingga orang penekun leak
menjadi terganggu dan ingin memberinya pelajaran, maka ia akan berubah wujud
menjadi kain putih panjang yang kemudian menyerang korbannya dengan melilit dan
membungkus tubuh korbannya hingga sang korban menghilang, saat ditemukan korban
menjadi linglung bahkan gila.
15. Sang Hyang Cili Manik Maya
Br.
Kerthi Yasa, Bona, Blahbatuh, Gianyar membuat ogoh-ogoh berjudul Sang Hyang
Cili Manik Maya
I
Tumpang Wredha merupakan ogoh-ogoh yang dibuat St.Mekar Kusuma, Br.Gunung Pande,
Tumbakbayuh, Mengwi, Badung.
Bandang Mamurti
St.
Dharma Bakti Mandala, Br.Petangan Gede, Desa Ubung Kaja, Kecamatan Denpasar
Utara mengusung ogoh-ogoh berjudul Bhomantaka Pralaya Bandang Mamurti.
Taruna
Berikut
sketsa ogoh-ogoh ST. Tunggal Adnyana Taruna, Banjar Gelogor, Pemecutan, Denpasar.
Bisa juga dilihat di akun @st_tunggaladnyanataruna
Ini
penampakan sketsa ogoh-ogoh ST Putra Kencana, Br.Dauh Tangluk, Banjar Dauh
Tangluk, Kesiman, Denpasar.
Maha
Kali merupakan sketsa ogoh-ogoh Stt. Satma Cita, Br. Kelandis, Desa Sumerta
Kauh, Denpasar Timur.
Penampakan
sketsa ogoh-ogoh Stt Divta Yowana, Br. Sading Sari, Desa Pemecutan Kelod,
Denpasar Barat.
St.
Binnayaka Dharma, Br.Ujung Kesiman, Denpasar membuat ogoh-ogoh berjudul Tabuan
Poleng.
St
Yowana Narmada Dharma Kerti, Br. Gaga, Tamanbali, Bangli membuat ogoh-ogoh
berjudul Parasurama.
St.
Yowana Pada, Br. Palak, Ds. Selat, Klungkung membuat ogoh-ogoh bertajuk Bhuta
Tog Tog Sil.
St
Mekar Jaya, Padang Sumbu Kaja membuat ogoh-ogoh berjudul Dalem Bungkut. Dalam
akun @stmekarjayapadangsumbukaja dituliskan, “Sira
juga pramana wasa wasitwa irikang loka. Kawisesan ri wekasan, yatika dyaken
katekana jiwanta ri dakara ri niskala.”
Ini
adalah penampakan sketsa ogoh-ogoh St.Cipta Karya, Br.Panca Warga, Mengwitani,
Mengwi, Badung.
Sekha
Truna Tri Mandala Sandhi, Banjar Lebah Belodan, Desa Dajan Peken, Kota Tabanan
membuat ogoh-ogoh berjudul Lembu Swana.
ST.
Eka Budhi (STEB), Br. Tegal Belodan, Desa Dauh Peken, Tabanan membuat ogoh-ogoh
berjudul Raksasa Sanggulan.
St
. Eka Dharma Canthi, Br. Kancil, Kerobokan, Kuta Utara, Badung menggarap
ogoh-ogoh berjudul Ajian Pudak Setegal.
Bima
Ruci merupakan ogoh-ogoh yang dibuat ST. Yowana Dharma Kerti, Banjar Pagutan,
Padangsambian Kaja, Denpasar.
Sekaa Teruna Dhananjaya, Banjar Danginpeken, Desa Adat Intaran, Sanur Kauh,
Denpasar, Bali membuat ogoh-ogoh Sanghyang Penyalin.
St.Manik
Kencana, Pengosekan Kelod, Ubud, Gianyar membuat ogoh-ogoh berjudul Matah Gede.
“Desain ogoh-ogoh tahun 2020 “Matah Gede” dengan lampan Calonarang
astungkara metaksu,” tulis akun @st.manikkencana
St.Satya
Muni (ST.SM), Br Selat Beringkit, Mengwitani , Kec Mengwi, Kab Badung membuat
ogoh-ogoh berjudul Jabang Tetuka. Jabang tetuka dipetik dari bahasa Sansekerta
yang merujuk pada kisah Mahabharata yang menceritakan tentang bagaimana
kepahlawan sang Bima putra Pandu yang menjunjung ke empat saudaranya (Panca
Pandawa) beserta ibunda tercinta Dewi Kunti pada bahunya.
ini dilaksanakan guna menyelamatkan marabahaya kobaran api neraka kawah Jabang
Tetuka (kawah candra dimuka) yang direncanakan licik oleh para korawa.
Makna yang terkandung yakni nilai filosofi luhur tentang kebersamaan dalam
keselarasan dan keharmonisan, serta nilai-nilai kepahlawanan yang terkandung
melalu kekuataan energi positif yang dimiliki oleh bima untuk menyelarasakan
antara bhuana agung dan bhuana alit dengan tujuan mencapai mokshartam
jagaddhita ya ca icidharma.
Segala kekuatan dalam keseluruhan energi semesta maka kebajikan terefleksi pada
diri Bima akan terwujud kekuatan melalui puja doa serta bhakti yang harmonis.
Maka Dari cerita tersebut terciptalah garapan seni berupa wujud ogoh-ogoh
dengan judul “Jabang Tetuka”
Sidakarya)
STT
Kertha Giri, Br Pekuwon, Bangli, Bali membuat ogoh-ogoh Brahmana Keling (Dalem
Sidakarya).
Kala
Raja Astra adalah ogoh-ogoh karya Sekaa Teruna Teruni Tri Amertha, Darmasaba,
Badung.
St.
Eka Citta Dharma Sesana, Br. Tengah, Desa Dangin Puri Kauh, Kecamatan Denpasar
Utara membuat ogoh-ogoh bertajuk Hidimbataka.
Stt
Dwi Dharma Tunggal, Br. Tegeh, Baturiti, Tabanan membuat ogoh-ogoh Bhutakala
Sungsang. Dikutip dari akun @stt2d1 dituliskan bahwa kisah itu berawal saat Bhatara Siwa
menyuruh Dewi Uma untuk mencari susu yang tugasnya sangat berat dilakukan,
dalam memperoleh susu Dewi Uma harus merelakan diri untuk melayani si
pengembala, ketika telah mendapatkan susu dan kembali ke Siwa Loka untuk menyerahkannya
kepada Dewa Siwa, Dewi Uma melakukan kebohongan.
tidak menyebutkan asal muasal dimana susu itu diperolehnya namun, dengan Tenung
Aji Saraswati Dewa Ganesha membeberkan kebohongan yang dilakukan ibunya terkait
asal usul memperoleh susu, mendengar penjelasan Dewa Ganesha seketika Tenung
Aji Saraswati tersebut dilenyapkan menjadi abu oleh api kemarahan Dewi Uma,
melihat Dewi Uma yang telah berani membakar Tenung Aji Saraswati dan berusaha
berbohong dalam memperoleh susu menimbulkan kemarahan bagi Dewa Siwa.
itulah kemudian Dewa Siwa mengutuk Dewi Uma turun kedunia menjelma menjadi Dewi
Dhurga, turun kedunia sebagai penguasa kuburan dan menebar penyakit, setelah
dikutuk untuk turun kedunia Dewi Dhurga berstana sebagai Dewa penguasa kuburan
yang diikuti 108 Bhuta Bhuti yang salah satunya Bhutakala Sungsang, tugas dari
Bhutakala Sungsang adalah menebar berbagai macam penyakit, menciptakan
kekeringan, kebencanaan didunia.
tetapi sasaran utamanya adalah manusia yang lupa berbakti kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. Penyakit dan segala kebencanaan yang di ciptakan oleh Dewi Dhurga
dan pengikutnya bertujuan untuk menyadarkan manusia untuk selalu ingat dan
berbakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai cara untuk mengurangi
gangguan yang ditimbulkan oleh kekuatan Dewi Dhurga dan pengikutnya dilakukan
dengan mempersembahkan Bhuta Yadnya yang dilakukan hingga saat ini.
ST.Swasembada,
Br. Gunung Sari, Mengwitani, Mengwi, Badung membuat ogoh-ogoh Bawi Srenggi.
Pura
Taman Sari Sesetan, Br.Kelompok Batas Dukuh Sari membuat ogoh-ogoh bertajuk Bhuta
Nawa Gempang.
Cingkarabala
adalah tema ogoh-ogoh dari ST.Ratna Wangsa, Br. Tengah, Ds. Getasan, Kec.
Petang, Kab. Badung.
Bagia
Pula Kerti diangkat oleh ST. Bina Remaja, Br. Bengkel Buduk, Ds. Bengkel,
Kediri, Tabanan sebagai lakon ogoh-ogoh tahun 2020. Dikutip dari akun @st.binaremaja
dituliskan sesuai dengan namanya yaitu Bagia = Bahagia, Pula = Menanam, dan
Kerti = Perbuatan. Jadi arti keseluruhannya adalah Bahagia karena telah menanam
sesuatu yang baik (suci).
jauh Bagia Pula Kerti dapat diartikan sebagai bukti telah melakukan upacara
yadnya yang utama. Namun, jika manusia tidak dapat menaman perbuatan yang suci
demi kebahagiaanya maka bahagia yang ia perolehnya akan murka (memirga) menjadi
sifat momoangkara
“Berangkat dari filosofi tersebut penggarap ingin mentranfomasikan bagia
menjadi sebuah garapan ogoh ogoh. Dimana harapannya manusia selalu berbuat baik
untuk kebahagiaannya dan lingkungannya,” tulisnya.
Sketsa
ogoh-ogoh ST. Dharma Dirga Yana, Br. Padangsambian, Desa Pakraman
Padangsambian, Denpasar, Bali
Prajapati
St
Putra Kahyangan, Banjar Tewel Sari, Intaran, Sanur membuat ogoh-ogoh bertajuk Kewisesan
Durga Prajapati.
St.
Eka Sentana, Banjar Sebelanga, Dauh Puri Kauh, Denpasar Barat membuat ogoh-ogoh
Tri Guna. Tri guna merupakan tiga unsur sifat manusia yang menyerupai satwan,
rajas, tamas. Satwan adalah sifat manusia baik, penyabar, dan pemaaf. Rajas adalah
dimana sifat manusia yg pemarah.
tamas adalah sifat manusia pemalas dan rakus / tamak. Dalam diri manusia ada
unsur Tri Guna yang jadi musuh kita yaitu sifat rajas dan tamas, dimana sifat
satwam yang menjadi penyeimbang sikap rajas dan tamas.
ST.
Teruna Jaya, Br. Umadui, Desa Adat Kerobokan, Kuta Utara membuat ogoh-ogoh Sang
Hyang Kala Ludra. Ketika Sanghyang Siwa sangat merindukan Dewi Uma, setelah
berubah wujud menjadi Sanghyang Kala Ludra, turunlah Dewa Siwa ke bumi menemui
istrinya yang sudah menjadi raksasa.
Kala Rudra dengan Durga berakibat guncangan yang sangat luar biasa, berakibat
mewabahnya segala penyakit, pembunuhan, kebakaran hutan, tsunami dan gempa
bumi. Melihat kenyataan tersebut, maka Sanghyang Tri Semaya (Brahma, Wisnu dan
Iswara) turun ke bumi untuk menetralisir keadaan dengan menggelar berbagai
bentuk kesenian, yakni Brahma menjadi Topeng Jauk, Wisnu menjadi Telek dan
Iswara menjadi Barong.
peran Sanghyang Trisemaya, keadaan dunia merangsur-angsur pulih kembali dan
Kala Ludra serta Durga kembali ke wujud semula, yakni Dewa Siwa dan Dewi Uma
dengan “Somya Rupa”.
Berikut
sketsa ogoh-ogoh Stt. Dharma Santika, Br.Sari, Ds.Gumbrih, Jembrana.
ST.
Sandhi Wigraha, Banjar Kelan Abian, Desa Kelan, Badung membuat ogoh-ogoh
bertajuk Paksi Durga Maya.
St. Yowana Kertha Sanggraha, Pura Pujastuti, Canggu, Kuta Utara, Badung membuat
ogoh-ogoh Kama Salah. Diceritakan Dewa Siwa mengelilingi dunia bersama
istrinya. Beliau naik diatas punggung Lembu Andini, terbang diangkasa.
selesai mengelilingi hutan/ daratan, kebetulan waktu matahari terbenam, waktu
senjakala, sinar matahari merah menyinari air samudra, menimbulkan asmaranya
bangkit kepada dewi uma, Tetapi sayang Dewi Uma tidak menanggapinya, Dewi Uma
mengharap agar Dewa Siwa lebih sabar.
tak kuasa menahan gairah & timbul amarahnya, Kama (benih) Dewa Siwa
terlanjur keluar dan tumpah di samudra, menggelegar suaranya. Segera beliau
kembali ke khayangan. Air samudra masih hebat membual-bual, gegap gempita
suaranya, menggemparkan para Dewa. Dewa Siwa bersabda bahwa yang tampak
bersinar itu disebut Kama Salah. Dan menyuruhnya untuk membinasakannya.
apa daya, mereka semua yang diperintahkan, tak sanggup membunuhnya. Bahkan Para
Dewa lari kocar- kacir, tunggang langgang dikarenakan kuatnya Kama Salah ini.
Sampai akhir kata, Dewa Siwa memberi wejangan kepada Kama Salah bahwa ia adalah
putera dari Dewa Siwa. Kemudian ia diberi nama Batara Kala dan lalu disuruhnya
untuk memematahkan taring nya agar bisa diakui sepagai putra Dewa Siwa.
Yuga
Pralaya merupakan tema ogoh-ogoh ST. Eka Dharma Cita, Br. Seribupati, Ds. Cau
Belayu, Kec. Marga, Kab. Tabanan. Dalam kitab upanisad dinyatakan: “Purnamadah
purnamidam, purnat purnam udayate, purnasya purnamadaya, purnam eva
awacisyate.” Tuhan itu maha sempurna, alam semesta inipun sempurna, dan dari
yang sempurna lahirlah yang sempurna, walaupun dari yang sempurna (Tuhan)
diambil oleh yang sempurna (alam semesta) tetapi sisanya (Tuhan) tetap sempurna
adanya.
ini menunjukkan bahwa alam diciptakan dan akan kembali kepadaNya dan saat
itulah terjadi Kiamat. Saat ini alam semesta sedang berada di tahun ke 51
Brahma. Setelah Brahma melewati usia yang ke-100, siklus yang baru
dimulai lagi, segala ciptaan yang dimusnahkan diciptakan kembali, begitu
seterusnya. Setiap satu siklus disebut dengan Maha Yuga.
setiap akhir dari Maha Yuga, sifat manusia akan semakin serakah kepada alam dan
jahat pada sesama manusia maka pada saat itu akan terjadi banyak kematian
akibat perang atau karena kemarahan alam dalam berbagai bentuk bencana alam
untuk memusnahkan kehidupan manusia, masa pemusnahan itu disebut dengan “Yuga
Pralaya”.
Sekaa Teruna (ST) Bina Manggala Santhi, Banjar Mertagangga, Ubung Kaja , Denpasar Utara pada nyepi saka 1942 ini akan membuat ogoh-ogoh berjudul Lembu Nandiswara. Sketsa dari ogoh-ogoh mereka telah diunggah pada akun instagram @st.bms.
ST Eka Pramana, Banjar Merta Rauh, Dangin Puri Kangin membuat ogoh-ogoh berjudul Camunda Ahamkara. Dalam sketsa yang diunggah di akun @st.ekapramana terlihat sesosok makhluk raksasa bertangan empat sedang melakukan yoga dan salah satu tangannya memegang kepala manusia.
Ketika sebuah kesetiaan dipermainkan, Hanya akan membawa petaka, Cahaya yang telah redup tak dapat dihidupkan, Yang tersisa hanyalah kegelapan “Pastu Durga”.
Ketika beliau sadar dari semedinya, segeralah beliau menitahkan Bendesa Ketewel untuk membuat beberapa topeng yang wajahnya tampak dalam mimpi beliau ketika melakukan semedi di Pura Jogan Agung dan memerintahkan pula agar membuatkan tarian yang mirip dengan mimpinya. Akhirnya Bendesa Ketewel pun mampu menyelesaikan sembilan buah topeng sakral sesuai permintaan I Dewa Agung Made Karna. Pertunjukan tari Sang Hyang Legong pun dapat dipentaskan di Pura Jogan Agung oleh dua orang penari perempuan.
Untuk mendapatkan kesaktian, ia melakukan tapa kepada Dewa Brahma. Ia kemudian memohon berkat untuk hidup abadi. Namun Dewa Brahma tak dapat mengabulkannya. Hiranyakasipu hanya tidak dapat dibunuh oleh Manusia, Hewan, maupun Dewa; saat pagi, siang, maupun malam; di luar maupun di dalam rumah; di air, darat, maupun udara; dan tidak dapat dibunuh dengan segala macam senjata.
Di rumah Hiranyakasipu, Dewa Indra dan bala tentaranya menyerbu. Untungnya, Narada datang dan menyelamatkan Lilawati (istri Hiranyakasipu) dan Prahlada (anak Hiranyakasipu). Prahlada kemudian dididik oleh Narada untuk menjadi pengikut Dewa Vishnu.
Mengetahui hal tersebut, Hiranyakasipu marah besar dan mencoba membunuh anaknya sendiri. Namun, setiap kali mencoba, ia selalu tidak dapat membunuh anaknya. Kekuatan Dewa Wisnu yang tidak terlihat oleh mata Hiranyakasipu selalu menolong Prahlada. Hiranyakasipu pun menantang Prahlada untuk menunjukkan Dewa Wisnu. Prahlada berkata, “Ia berada di mana-mana, Ia di sini, dan Ia akan muncul.”
Pada petang hari itu, Dewa Vishnu muncul sebagai Narasinga Awatara (manusia berkepala singa dan berkuku tajam). Narasinga Awatara dapat mengakhiri Hiranyakasipu. Karena waktu yang tepat, berkat Dewa Brahma tidak berlaku lagi. Hiranyakaksipu memang dibunuh tidak oleh manusia, hewan, maupun dewa; tidak di air, darat, ataupun udara, melainkan di pangkuan Narasinga; tidak di dalam maupun di dalam rumah, melainkan di antaranya; tidak dibunuh dengan senjata, melainkan dengan kuku Narasinga.
Intinya adalah Beliau ada dimana-mana dan akan melindungi setiap pengikutnya tanpa memandang keturunan melainkan hanya ketulusan dan perbuatan baik orang tersebut.
Sang Kala Geni merupakan judul ogoh-ogoh dari St. Yowana Çhanti I, Br. Sulangai, Ds. Sulangai, Kec. Petang, Kab. Badung. Sketsanya bisa dilihat di @st.yowanachanti1
Saat Nyepi saka 1942 tahun 2020, STT. Dharma Kaniaka Banjar Dajan Peken, Timpag, Tabanan membuat ogoh-ogoh berjudul Pempatan Agung. Dikutif dari akun instagram @sttdharmakaniaka.timpag dituliskan Pempatan Agung atau disebut juga Catus Patha adalah persimpangan jalan yang erat kaitannya dengan simbol tapak dara yg merupakan pusat pertemuan energi positif dan negatif.
Dijelaskan dalam beberapa lontar seperti Dewa Tattwa maupun Eka Pratama, dalam seluk beluk caru dan tawur disebutkan terutama untuk Tawur kesanga dilaksanakan di Pempatan Agung, karena dalam Lontar Bhumi Kamulan dan Siwa Gama diceritakan di tempat inilah mula pertama Dewi Uma berubah wujud menjadi Dewi Durga untuk menciptakan Bhuta Kala dan di tempat ini pula Sang Pretanjala berubah menjadi Maha Kala serta mengutuk keempat saudaranya untuk ditempatkan masing-masing penjuru mata angin.
Tidak heran, jika orang-orang yang menekuni ilmu pangiwa memanfaatkan energi negatif Pempatan Agung untuk mendapat panugrahan Bhatari Durga dan Sang Mahakala. Namun demikian, fenomena seperti itu saat ini tentunya sudah jarang karena kawasan Pempatan Agung atau Catus pata kini sudah ramai, bahkan menjadi titik kawasan bisnis dan pemerintahan suatu wilayah. “Berdasarkan cerita tersebut penggarap mengimplementasikan kedalam bentuk karya seni ogoh-ogoh dengan konsep menghadap keempat penjuru mata angin,” tulis akun @sttdharmakaniaka.timpag.
Pada akun @stt_putra_bhakti dituliskan perwujudan Cili atau Deling pada lamak disebut sebagai sampian Cili dengan hiasan wajah yang menyimbolkan kekuatan keindahan atau simbol kedewataan. Cili dilambangkan dengan figur perempuan dengan ciri khas bentuk segitiga terdiri dari tiga unsur yakni kepala, badan dan kaki seperti halnya dalam motif hias cilinaya. Mengandung makna sebagai permohonan keindahan. Cili merupakan simbol purusa dan pradana yang nantinya memiliki penekanan kepada konsep Rwa Bhineda.
Simbol Cili yang dihadirkan pada karya ini mengandung makna sebagai permohonan kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar senantiasa dianugrahkan kerahayuan dan keselamatan terhadap Bhuana Agung dan Bhuana Alit agar kehidupan di Bumi bisa terus berjalan harmonis.
Cili di Bali sangat terkait dengan kehidupan sosial keagamaan yang selalu menjaga dan memelihara bahkan memberi perubahan dalam bentuk dan fungsinya, sejalan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat.
“Karena di dalam dunia ini tidak ada yang bisa melampaui keabadian dewa” ATMA LINGGA” Coming soon caka 1942,” tulis akun tersebut.
Tahun 2020, ST. Wiwaradhika, Br. Belong Gede Pemecutan Kaja, Denpasar akan membuat ogoh-ogoh berjudul Durga Mahesasura Mardini. Dalam sketsanya terlihat sosok Dewi Durga bertangan banyak dengan memegang banyak senjata.
Secara umum , jenis cetik yg paling terdengar di telinga masyarakat bali yakni cetik kerawang atau biasanya di sebut cetik kerikan gangsa yg berbahan dasar serpihan tembaga yg di ambil dari sebuah lempengan gong gangsa atau salah satu jenis perlengkapan gambelan bali , kemudian di campur dengan gelugut (medang-medang)pohon bambu kuning.
Cetik ini hanya mampu di lakukan oleh orang yg memiliki ilmu hitam atau desti , bahkan secara tidak langsung hanya memandang makanan atau minuman saja , maka korbannya akan menjadi sakit seperti yang dihendaki. Kewisesan yang di perolehnya di sebar luaskan secara rahasia dengan menggunakan sarana seperti mas, mirah, tembaga, kertas rerajahan dan lain-lain.
Tujuan orang nyetik atau yg melakukan perbuatan mencelakai dengan menggunakan cetik amat beragam. Biasanya di karenakan sifat iri hati atau dengki , kecemburuan sosial , balas dendam dan berselisih paham , layaknya menggambarkan sosok raksasa yg berkuasa dan menyeramkan.
Juga dijelaskan tentang makna pada setiap bagian ogoh-ogoh yang dibuat yaitu babi dan bhuta melambangkan sifat-sifat duniawi seperti rakus, serakah, licik, dan lain-lain yang senantiasa menggoda “sang diri” untuk mendapatkan kepuasan material. Tunggul berakar menyimbolkan tubuh dari “sang diri” yang masih terikat reinkarnasi untuk menebus karma dari kehidupan lampau.
Badan dengan memegang kepala beragam ekspresi merepresentasikan “sang diri” yang masih terpengaruh oleh ingatan-ingatan dari kehidupannya yang lalu. Berdiri dengan satu kaki melambangkan keinginan untuk lepas dari ikatan duniawi.