![]() |
pixabay.com |
Ogoh-ogoh, simbol budaya yang selalu dikaitkan dengan perayaan Hari Raya Nyepi bagi umat Hindu, biasanya diarak pada malam pengerupukan untuk mengusir energi negatif. Namun, tradisi ini tidak berlaku di Desa Adat Renon, Denpasar. Desa ini memiliki sejarah unik dan menyeramkan yang membuat warga setempat menghentikan pembuatan ogoh-ogoh sejak 1985.
Cerita bermula ketika pemerintah Kota Denpasar mendorong pembuatan dan pengarakan ogoh-ogoh pada malam pengerupukan. Warga Desa Adat Renon awalnya sangat antusias mengikuti tradisi ini, hingga suatu kejadian aneh terjadi.
Setelah selesai diupacarai, salah satu ogoh-ogoh tiba-tiba hidup dan bergerak sendiri, memicu ketakutan di kalangan warga. Peristiwa ini dibarengi dengan fenomena kesurupan di Pura Bale Agung dan Pura Ida Ratu Tuan, yang akhirnya memberikan petunjuk kepada warga untuk menghentikan tradisi pengarakan ogoh-ogoh demi keselamatan bersama.
Namun, larangan tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh generasi muda. Pada tahun 1992, sekelompok pemuda mencoba membuat ogoh-ogoh kembali. Sayangnya, peristiwa aneh terulang. Salah satu ogoh-ogoh, yang berwujud Rangda dengan lidah menjulur, tiba-tiba bergerak sendiri. Ketakutan kembali melanda desa.
Pada tahun 2016, rasa penasaran anak-anak muda membuat mereka mencoba lagi. Kali ini, ogoh-ogoh menangis, dan lidahnya bergerak-gerak, memaksa warga membakar ogoh-ogoh tersebut.
Desa Adat Renon, yang telah berdiri sejak tahun 913 Masehi, terdiri dari empat banjar dan lima lingkungan, dikenal sebagai salah satu desa tua di Bali. Dengan luas 254 hektar, desa ini memiliki sejarah panjang dalam tradisi dan budaya Bali. Namun, insiden misterius yang berkaitan dengan ogoh-ogoh menjadikan desa ini berbeda.
Warga juga menuturkan, peristiwa mistis pertama kali terjadi pada tahun 1986. Ketika itu, banyak ogoh-ogoh yang dilaporkan bergerak sendiri, bahkan ada yang menangis. Peristiwa ini bersamaan dengan penolakan Ida Sesuhunan di Pura Dalem dan Baris China untuk “mesineb” atau kembali ke asal-Nya. Pawisik (bisikan gaib) yang diterima saat itu meminta warga untuk menghentikan tradisi pengarakan ogoh-ogoh.
Meskipun sudah ada larangan, pada tahun 1996, pemuda Banjar Tengah mencoba melanggar aturan tersebut dengan membuat ogoh-ogoh lagi. Anehnya, ukuran ogoh-ogoh yang semula sesuai, tiba-tiba membesar sehingga tidak muat melewati gang di sekitar tempat pembuatannya. Mereka pun terpaksa melewati sawah untuk memindahkannya ke lokasi lain. Selama proses tersebut, warga melaporkan munculnya sosok ular hitam putih secara misterius.
Saat malam pengerupukan tiba, upaya untuk mengarak ogoh-ogoh lagi-lagi dihentikan. Banyak warga mengalami kesurupan, dan Ida Sesuhunan tidak berkenan mesineb. Pawisik yang diterima menyebutkan bahwa ogoh-ogoh yang telah dibuat harus segera dibakar. Setelah itu, barulah keadaan kembali tenang.
Sejak kejadian tersebut, Desa Adat Renon sepakat untuk tidak lagi membuat ogoh-ogoh demi menjaga keselamatan bersama. Larangan ini tetap dipatuhi hingga saat ini, menjadikan Desa Adat Renon unik dalam perayaan Hari Raya Nyepi di Bali. (TB)