Desa Catur yang kini terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, dahulu dikenal dengan nama Desa Padangwah. Pada masa lalu, desa ini mengalami kejadian tragis ketika wabah penyakit (grubug) melanda, mengakibatkan banyak warga meninggal dunia.
Hampir seluruh penduduk desa tidak selamat, kecuali satu keluarga yang berhasil melarikan diri. Keluarga tersebut berpisah; anggota termuda dititipkan di Desa Tambakan, sementara yang lain meneruskan perjalanan hingga menetap di Desa Pakisan, Kabupaten Buleleng.
Suatu hari, Ida Dalem Klungkung mengunjungi Pura Penulisan untuk melihat wilayah kekuasaannya. Dalam perjalanan, beliau mendapat kabar bahwa Desa Padangwah telah kosong akibat wabah yang mematikan.
Untuk memastikan kebenaran berita tersebut, beliau mengutus punggawa kerajaan untuk menyelidikinya. Setibanya di Desa Padangwah, para utusan kerajaan mendapati desa itu benar-benar tidak berpenghuni.
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke Desa Tambakan dan menemukan bahwa masih ada penduduk asli Padangwah yang selamat dan berlindung di sana. Dari mereka, diketahui bahwa anggota keluarga lainnya melarikan diri ke Desa Pakisan.
Setelah mendapat laporan dari punggawa kerajaan, Ida Dalem Klungkung memutuskan untuk menemui warga yang selamat di Desa Pakisan. Beliau mengajak mereka kembali ke tanah asalnya untuk membangun kembali desa yang telah ditinggalkan.
Namun, karena masih diliputi trauma akibat peristiwa tragis tersebut, mereka menolak. Hanya si bungsu yang bersedia kembali ke Padangwah, dengan syarat ia diperbolehkan membawa serta empat orang lainnya untuk membantunya membangun kembali desa tersebut. Ida Dalem Klungkung menyetujui permintaan tersebut dan memberikan empat orang untuk menemani si bungsu.
Dalam perjalanan pulang menuju Desa Padangwah, rombongan berhenti di sebuah pura untuk beristirahat. Pura tersebut memiliki arca dengan empat wajah serta empat pintu masuk (pemedal).
Momen ini dianggap sebagai pertanda, mengingat si bungsu membawa empat orang untuk membangun desa kembali. Ida Dalem Klungkung kemudian melakukan pertapaan dan mendapatkan wahyu untuk mengganti nama Desa Padangwah menjadi Desa Catur, yang dalam bahasa Sanskerta berarti “empat.” Sejak saat itu, desa tersebut dikenal dengan nama Desa Catur dan tetap bertahan hingga kini. (TB)