![]() |
pixabay.com |
Asta Kosala Kosali adalah pengetahuan arsitektur tradisional Bali yang kaya dan telah dikenal sejak abad ke-9. Pengetahuan ini tertuang dalam berbagai ajaran dan pedoman yang wajib dipatuhi oleh para undagi (arsitek tradisional Bali) dalam mendirikan bangunan tradisional, baik untuk tempat tinggal maupun bangunan suci.
Asta Kosala Kosali mencakup berbagai aspek arsitektur, termasuk hakikat seorang undagi, teknik pemasangan bahan bangunan, tata cara mengukur luas bangunan, serta jenis-jenis kayu yang layak dijadikan bahan bangunan. Selain itu, ajaran ini juga memuat tentang dewa pujaan seorang undagi, yaitu Bhatara Wiswakarma, serta mantra-mantra yang harus digunakan dalam proses pembangunan.
Sejarah Asta Kosala Kosali
Tradisi sejarah Asta Kosala Kosali memiliki akar yang sangat panjang. Berdasarkan data dari Prasasti Bebetin berangka tahun 818 Saka (896 M), yang dilansir dari website Kemendikbud, diketahui bahwa pengetahuan arsitektur ini telah ada di Bali sejak masa tersebut.
Pada zaman itu, sudah dikenal ahli arsitektur tradisional Bali yang disebut undagi, yang bertanggung jawab atas pembangunan berbagai bangunan tradisional dengan mengikuti pedoman Asta Kosala Kosali.
Ukuran Tradisional dalam Asta Kosala Kosali
Salah satu aspek penting dalam Asta Kosala Kosali adalah penggunaan ukuran-ukuran tradisional yang disebut “sikut.” Berbeda dengan satuan internasional, ukuran-ukuran ini didasarkan pada anatomi tubuh manusia, terutama tubuh pemilik rumah atau pekarangan. Berikut adalah beberapa ukuran tradisional yang digunakan:
1. Acengkang/Alengkat: Diukur dari ujung telunjuk sampai ujung ibu jari tangan yang direntangkan.
2. Agemel: Diukur keliling tangan yang dikepalkan.
3. Aguli: Diukur ruas tengah jari telunjuk.
4. Akacing: Diukur dari pangkal sampai ujung jari kelingking tangan kanan.
5. Alek: Diukur dari pangkal sampai ujung jari tengah tangan kanan.
6. Amusti: Diukur dari ujung ibu jari sampai pangkal telapak tangan yang dikepalkan.
7. Atapak Batis: Diukur sepanjang telapak kaki.
8. Atapak Batis Ngandang: Diukur selebar telapak kaki.
9. Atengen Depa Agung: Diukur dari pangkal lengan sampai ujung jari tangan yang direntangkan.
10. Atengen Depa Alit: Diukur dari pangkal lengan sampai ujung tangan yang dikepalkan.
11. Auseran: Diukur dari pangkal ujung jari telunjuk yang ditempatkan pada suatu permukaan.
12. Duang Jeriji: Diukur lingkar dua jari (jari telunjuk dan jari tengah yang dirapatkan).
13. Petang Jeriji: Diukur lebar empat jari (telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking) yang dirapatkan.
14. Sahasta: Diukur dari siku sampai pangkal telapak tangan yang dikepal.
15. Atampak Lima: Diukur selebar telapak tangan yang dibuka dengan jari rapat.
Filosofi dan Praktik Arsitektur Tradisional
Asta Kosala Kosali tidak hanya memuat ukuran-ukuran fisik, tetapi juga mengandung ajaran filosofi tentang hubungan seorang undagi dengan pekerjaannya dan kewajibannya terhadap Tuhan. Sesajen yang digunakan dalam mengupacarai bangunan dan mantra-mantra yang wajib digunakan, menunjukkan betapa eratnya kaitan antara aspek spiritual dan arsitektur dalam tradisi Bali.
Pengetahuan ini mengajarkan bahwa setiap tindakan dalam pembangunan harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan penghormatan terhadap alam dan dewa-dewa. Hal ini menjadikan setiap bangunan tidak hanya sebagai struktur fisik, tetapi juga sebagai manifestasi dari harmoni antara manusia, alam, dan alam gaib.
Asta Kosala Kosali, dengan segala keunikannya, tetap menjadi pedoman yang sangat dihormati dalam pembangunan arsitektur tradisional Bali hingga hari ini. Pengetahuan ini tidak hanya melestarikan teknik bangunan tradisional, tetapi juga menjaga nilai-nilai budaya dan spiritual masyarakat Bali. (TB)