![]() |
pixabay.com |
Menurut Putu Eka Guna Yasa, seorang dosen Sastra Bali di Universitas Udayana, bebai merupakan entitas mistis yang berasal dari bayi hasil pengguguran kandungan. Dalam lontar Usadha Bebai, dijelaskan bahwa bayi tersebut ditanam dan kemudian diambil kembali serta dirawat dengan cara khusus.
Bayi yang digugurkan ini kemudian diupacarai layaknya bayi hidup, termasuk melalui upacara 12 hari, upacara tiga bulanan, dan otonan. Ritual-ritual ini bertujuan agar energi yang ada dalam bayi tersebut menganggap orang yang memeliharanya sebagai orang tua.
Proses Penumbuhan dan Perawatan Bebai
Guna Yasa menjelaskan bahwa ada rumus tertentu yang dapat menarik jiwa seseorang melalui media sehingga jiwa tersebut datang kembali. Bayi yang dirawat sedemikian rupa ini akan tumbuh dan menghamba kepada orang yang memeliharanya.
Bebai memerlukan darah sebagai makanan, dan jika tidak mendapatkan darah manusia, bisa menggunakan darah hewan.
Bebai ini dapat dikirim ke tubuh seseorang lewat “udara” dan bahkan diperjualbelikan. Orang yang menjadi korban bebai disebut bebainan. Guna Yasa menambahkan bahwa korban bebainan ini biasanya adalah wanita, terkait dengan siklus bulanan yang membuat mereka lebih sensitif dan rentan terhadap entitas ini.
Pengaruh Bebai dan Cara Pengendalian
Orang yang dimasuki bebai dapat kehilangan kendali atas dirinya dan dapat digerakkan oleh orang yang mengirim bebai tersebut. Penting untuk mengendalikan emosi karena amarah dapat memudahkan hal-hal negatif, termasuk bebai, masuk ke dalam diri.
Menurut Guna Yasa, saat seseorang dikuasai oleh rasa marah atau benci, hal-hal negatif lebih mudah masuk ke dalam diri mereka.
Pengiriman penyakit non medis melalui bebai menggunakan kebencian sebagai sarana. Orang yang iri akan mencari kesalahan orang lain dan memanfaatkan rasa marah tersebut untuk mengirim bebai. Kontak dengan sasaran menjadi landasan untuk menyakiti dan mengendalikan bebai.
Pengobatan Tradisional untuk Bebainan
Untuk mengobati orang yang terkena bebai, digunakan tiga lembar daun sirih. Dalam buku “Aksara Bali dalam Usadha” yang disusun oleh Ngurah Nala, disebutkan bahwa balian (dukun) dapat menghubungkan apinya dengan api orang sakit agar pasien bisa ditolong.
Daun sirih tersebut digambari atau ditulisi dengan dasaksara, yaitu aksara suci Bali: sang, bang, tang, ang, ing, nang, mang, sing, wang, dan yang. Ketiga daun sirih tersebut kemudian dilipat menjadi satu dan dibubuhi kapur seperti dalam tradisi makan sirih.
Mantra yang digunakan adalah mantra pasupat dan mantra pangurip. Pasien yang sakit disuruh mengunyah daun sirih tersebut. Jika pasien menjerit-jerit, berarti bebai dalam tubuhnya merasakan panas dari api (Ang) yang dimasukkan melalui kunyahan daun sirih, dan penyakitnya akan lari ketakutan keluar dari tubuh pasien.
Namun, jika bebai lebih kuat dan tidak bisa dibakar dengan api balian usadha, maka penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan dan bebai akan tetap bermukim dalam tubuh pasien.
Kesimpulan
Bebai adalah entitas mistis yang memiliki peran signifikan dalam pengobatan tradisional Bali. Melalui ritual khusus dan penggunaan dasaksara serta mantra, masyarakat Bali berupaya untuk mengusir bebai dan menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh entitas ini.
Praktik ini mencerminkan kedalaman spiritualitas dan kepercayaan lokal terhadap pengaruh energi positif dan negatif dalam kehidupan sehari-hari. (TB)