Desa Umejero terletak di Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Bali. Hingga kini, tidak ditemukan bukti tertulis yang mengungkapkan sejarah desa ini secara pasti. Oleh karena itu, asal-usul Umejero lebih banyak didasarkan pada cerita yang diwariskan secara lisan oleh para tetua atau Pengelingsir desa.
Pada zaman dahulu, wilayah yang kini dikenal sebagai Desa Umejero masih berupa hutan belantara. Kawasan ini merupakan bagian dari Desa Adat Gobleg, yang saat itu jumlah penduduknya masih sedikit. Seiring berjalannya waktu, jumlah warga di Gobleg semakin bertambah hingga menyebabkan kepadatan.
Untuk mengatasi hal ini, pemimpin desa pada saat itu, yang berasal dari kalangan Jeroan Gobleg, memerintahkan seorang kepercayaan bernama I Belog Punggung beserta pengikutnya untuk membuka lahan pertanian di daerah Bukit Dua, yang kini dikenal sebagai Gunung Kembar.
Tanpa ragu, I Belog Punggung menjalankan perintah tersebut dan mulai mencari sumber air guna mengairi calon persawahan mereka. Setelah menelusuri daerah sekitar, akhirnya mereka menemukan mata air di Pangkung Canggah, sekitar dua kilometer dari lokasi yang akan dijadikan lahan pertanian. Selanjutnya, mereka membangun saluran irigasi untuk mengalirkan air ke persawahan.
Saat pekerjaan berlangsung, I Belog Punggung dan para pengikutnya menemui hambatan besar di Batu Macepak (Batu Congkak), sebuah batu besar yang menghalangi jalur irigasi. Berbagai cara telah dicoba untuk menyingkirkan batu tersebut, namun semuanya sia-sia. Akhirnya, I Belog Punggung melaporkan permasalahan ini kepada Raja Gobleg.
Menanggapi laporan itu, sang raja memberikan tongkat pusaka serta air suci kepada I Belog Punggung, dengan keyakinan bahwa benda-benda tersebut dapat membantu mengatasi kendala yang mereka hadapi. Kembali ke Batu Macepak, sebelum memulai pekerjaannya, I Belog Punggung mengucapkan sumpah (kaul), yakni jika ia berhasil membuka saluran air hingga ke sawah, maka ia bersedia menyerahkan secutak sawah kepada keluarga Jeroan Gobleg.
Setelah melakukan ritual dengan memercikkan air suci dan menyentuhkan tongkat pusaka ke batu penghalang, keajaiban pun terjadi. Batu yang sebelumnya tidak bisa ditembus akhirnya terbelah, memungkinkan air mengalir dengan lancar ke persawahan yang telah disiapkan. Keberhasilan ini membuat lahan pertanian berkembang pesat, menghasilkan panen yang melimpah, dan masyarakat di wilayah tersebut pun hidup makmur.
Setelah tugasnya selesai, I Belog Punggung kembali menghadap Raja Gobleg untuk menyerahkan secutak sawah sebagai pemenuhan sumpahnya. Dari peristiwa ini, nama “Umejero” mulai muncul, yang berasal dari kata “Ume” dalam bahasa Bali yang berarti sawah, dan “Jero” yang merujuk pada rumah raja atau bangsawan.
Seiring waktu, nama “Umejeroan” yang awalnya digunakan kemudian disingkat menjadi Umejero. Hingga kini, lokasi-lokasi bersejarah seperti Gunung Kembar, Batu Congkak, Pangkung Canggah, dan Umejeroan masih dihormati dan dianggap sakral oleh masyarakat setempat.
Sebagai bentuk penghormatan atas jasanya dalam membuka daerah tersebut, I Belog Punggung diangkat sebagai Klian Subak atau pemimpin sistem irigasi di desa. Kisah ini terus diwariskan dari generasi ke generasi sebagai bagian dari sejarah Desa Umejero. (TB)