Sejarah Desa Selat, Susut, Bangli, Berkaitan dengan Perjalanan Siswa Dang Hyang Nirarta

Author:
Share
Desa Selat terletak di Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, Bali. Seperti halnya desa-desa lain, Desa Selat memiliki sejarah panjang yang sering kali dianggap sebagai legenda. Namun, di balik anggapan tersebut, Desa Selat memiliki riwayat yang jelas, terutama terkait dengan pemekaran dari Desa Susut.  
Gagasan pemekaran Desa Susut muncul dalam rapat Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Susut yang dipimpin oleh I Made Ridjasa, BA, pada 8 Desember 2003. Usulan ini kemudian diajukan ke Pemerintah Desa dan dituangkan dalam Peraturan Desa Susut Nomor 07 Tahun 2003 tentang Pembentukan Desa Persiapan Selat. Perbekel Desa Susut, I Nyoman Litjir, melanjutkan proses ini dengan mengusulkan pemekaran Desa Susut ke tingkat kabupaten melalui Bagian Pemerintahan Desa Kabupaten Bangli pada 30 Desember 2003.  
Usulan tersebut mendapat tanggapan dari Bupati Bangli, I Nengah Arwana, S.Sos., MM, yang kemudian mengeluarkan Keputusan Nomor 146.05/136/2005 tentang pembentukan tim pendataan, pengkajian, dan sosialisasi pemekaran Desa Susut. Tim ini dipimpin oleh Kepala Bagian Pemerintahan Setda Kabupaten Bangli, dengan anggota dari berbagai instansi terkait, termasuk Bappeda, BPMPD, Bagian Hukum, dan Bagian Organisasi.  
Hasil kajian tim menunjukkan bahwa 90% tokoh masyarakat Desa Susut menyetujui pemekaran desa. Laporan tersebut disampaikan kepada Bupati Bangli pada 11 Agustus 2005, yang kemudian menerbitkan Peraturan Bupati Bangli Nomor 35 Tahun 2005 pada 10 Oktober 2005 tentang Pemecahan Desa Susut menjadi Desa Susut dan Desa Persiapan Selat.  
Setelah peraturan ini terbit, pemerintah desa mengadakan pemilihan Perbekel Desa Persiapan Selat. Lima calon yang berhak dipilih adalah:  
1. I Wayan Windu Ardana (Br. Dinas Selat Peken)  
2. I Wayan Karyasa (Br. Dinas Selat Peken)  
3. I Nyoman Drena (Br. Dinas Selat Tengah)  
4. I Nengah Meres (Br. Dinas Selat Kajakauh)  
5. I Nyoman Kartika (Br. Dinas Selat Kajakauh)  
Pemilihan ini menetapkan I Wayan Windu Ardana sebagai pemenang setelah memperoleh suara terbanyak. Ia kemudian diajukan ke Bupati Bangli untuk ditetapkan sebagai Perbekel Desa Persiapan Selat. Setelah tiga tahun berstatus desa persiapan, akhirnya pada 25 Februari 2008, Desa Selat resmi menjadi desa definitif berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 7 Tahun 2008.  
Namun, sejarah Desa Selat tidak hanya berkaitan dengan pemekaran, melainkan juga memiliki latar belakang panjang yang terkait dengan perkembangan wilayah di masa lampau. Sebelum penjajahan Belanda, Bali diperintah oleh raja-raja yang kerap bersaing untuk memperluas pengaruh mereka, sering kali melalui peperangan.  
Menurut cerita tokoh masyarakat, keberadaan Desa Selat berkaitan dengan perjalanan Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh (Dang Hyang Nirarta). Beberapa siswanya diperintahkan untuk menyebarkan ajaran agama dan menetap di berbagai wilayah. Tujuh orang siswa beliau diberikan mandat untuk tinggal di Samipaning Luwah Pakerisan. Lima di antaranya menetap di Tukad Pakerisan, sementara dua lainnya melanjutkan perjalanan ke Tukad Melangit, yang kini dikenal sebagai Sidembunut.  
Kelima siswa yang menetap di Tukad Pakerisan kemudian mendirikan pemukiman dan pasraman. Yang tertua tinggal di tengah Alas Bulan, yang kemudian dikenal sebagai Selat Nyuhan. Saudaranya mendirikan pasraman di bawah pohon Pangi dan menjadi tempat pengobatan, yang kini disebut Selat Pengiangan. 
Siswa ketiga menetap di tepi barat Tukad Pakerisan, yang kini menjadi Selat Kaja Kauh. Sementara itu, siswa keempat tinggal di daerah yang kini disebut Selat Tengah, dan siswa bungsu tinggal di wilayah timur dekat Tukad Dah, yang dikenal sebagai Selat Peken. Kelima siswa ini kemudian disebut sebagai Bendesa Gede Selat.  
Pada tahun 1800-an, Bangli dipimpin oleh I Dewa Gede Tangkeban dan terbagi menjadi empat wilayah, yaitu Punggawa Apuan, Punggawa Susut, Punggawa Kayubihi, dan Punggawa Jehem. Apuan dan Susut berada di bawah satu kepemimpinan, yang sering berselisih dengan Raja Gianyar. 
Saat itu, wilayah Pejeng dipimpin oleh I Dewa Mayun Sudha, yang memiliki hubungan baik dengan I Dewa Gede Tangkeban. Namun, konflik dengan raja-raja Ubud, Sukawati, dan Gianyar menyebabkan I Dewa Mayun Sudha dikalahkan dan melarikan diri bersama 800 kepala keluarga.  
Rombongan ini tiba di Tukad Pakerisan dan beristirahat di bawah pohon beringin di Pura Masceti Selat. Namun, keberadaan mereka diketahui oleh Raja Gianyar dan sekutunya, yang kemudian menyerang Selat dengan ilmu hitam. Mendengar hal ini, I Dewa Gede Tangkeban memindahkan I Dewa Mayun Sudha ke Pinggan, Kintamani, yang kini menjadi lokasi Pura Dalem Balingkang.  
Serangan ilmu hitam menyebabkan wabah penyakit di Selat. Untuk mengatasinya, I Dewa Gede Tangkeban memberikan pratima berupa Barong Ket dan Tapel Srenggi kepada Bendesa Gede Selat. Hingga kini, Barong Ket masih disungsung oleh masyarakat Selat. Selain itu, beberapa benda pusaka juga diberikan, seperti Keris Ki Ranggarencong di Selat Peken, Ki Rangga Runting di Selat Tengah, dan Ki Rangga Dali di Selat Kaja Kauh.  
Dengan keteguhan warga dalam menjalankan ajaran dan nilai-nilai leluhur, Desa Selat berkembang menjadi wilayah yang damai dan tentram. Nama “Selat” tetap digunakan hingga kini, mencerminkan sejarah panjang desa yang menjadi perbatasan berbagai pengaruh dan peristiwa penting di masa lalu. (TB)
   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!