Sejarah selalu menjadi cermin bagi masa kini dan petunjuk bagi masa depan. Begitu pula dengan kisah asal-usul suatu desa, yang kerap dikaitkan dengan peristiwa bersejarah, tokoh kerajaan, atau kejadian unik yang melatarbelakanginya. Desa Kukuh, yang terletak di Kecamatan Kerambitan, Tabanan, Bali, memiliki sejarah panjang yang tidak terlepas dari peran para raja serta dinamika politik kerajaan di masa lampau.
Dalam berbagai catatan sejarah Bali, nama suatu wilayah sering kali diambil dari peristiwa penting yang pernah terjadi di sana. Hal ini juga berlaku bagi Desa Kukuh, yang erat kaitannya dengan perjalanan sejarah Kerajaan Tabanan.
Sejarahnya dapat ditelusuri dari kisah perjalanan Raja Tabanan XIII, Ida Cokorda Nur Pande Ratu Singgasana, yang menggantikan ayahnya, Sri Megade Sakti Ratu Singgasana XII. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Tabanan mengalami kemakmuran luar biasa.
Wilayahnya membentang dari Gunung Beratan di utara hingga laut di selatan, serta diapit oleh sungai-sungai besar di timur dan barat. Meski makmur, sang raja menghadapi satu kegundahan—ia belum dikaruniai seorang putra sebagai penerus takhta. Ia pun berjanji bahwa siapa pun putra pertama yang lahir, meskipun dari selir, akan menjadi penerusnya.
Tak lama kemudian, lahirlah seorang putra bernama Sirarya Ngurah Sekar dari istri selirnya, Si Mekel Sekar dari Sekartaji. Namun, permaisuri utama, Gusti Luh Wayan dari Delod Ruung, juga melahirkan seorang putra bernama Sirarya Ngurah Gede. Situasi ini menimbulkan konflik terkait pewarisan takhta kerajaan.
Setelah wafatnya sang raja, Sirarya Ngurah Sekar diangkat sebagai penguasa Tabanan dengan gelar Cokorda Di Sekar. Sementara itu, Sirarya Ngurah Gede tidak diberikan status yang jelas di kerajaan.
Merasa tersingkir, ia memilih meninggalkan Puri Tabanan dan mengembara hingga tiba di daerah utara Gunung Batukaru. Perjalanannya membawanya ke Desa Banjar, tempat ia tinggal di Griya Brahmana Kemenuh.
Kepergiannya menimbulkan kepanikan di Puri Tabanan. Sang kakak pun mengutus beberapa orang untuk mencarinya, tetapi tiga kali pencarian gagal membujuknya kembali.
Akhirnya, utusan keempat yang dipimpin oleh Kiyai Subamia Gadungan berhasil membawanya pulang dengan satu syarat—setengah wilayah Tabanan dan rakyatnya harus diberikan kepadanya.
Untuk memenuhi kesepakatan ini, sebuah wilayah baru harus ditemukan untuk dijadikan pusat pemerintahan Sirarya Ngurah Gede. Setelah melalui berbagai pencarian, dipilihlah suatu daerah yang ditandai dengan asap mengepul dari tanahnya, sesuai dengan petunjuk seorang pendeta. Wilayah ini diyakini memiliki keseimbangan antara aspek keamanan, keindahan, serta kesuburan tanah.
Pembangunan puri pun dimulai dengan perencanaan tata kota yang rapi. Jalan-jalan utama dibuat lurus dengan perempatan luas, sementara pola permukiman diatur dalam bentuk persegi panjang yang tertata baik. Puri didirikan megah di tengah kawasan ini, dikelilingi oleh dua sungai, yakni Sungai Abe di timur dan Sungai Lating di barat, yang berfungsi sebagai pertahanan alami sekaligus sumber kesejahteraan.
Ketika Sirarya Ngurah Gede resmi memasuki puri barunya, banyak rakyat yang turut serta menetap di wilayah ini. Keindahan serta keteraturan tata kota yang luar biasa membuat tempat ini dikenal dengan istilah “Kerawitan,” yang kemudian berkembang menjadi nama “Kerambitan.”
Wilayah sekitarnya pun turut mengalami perkembangan dan diberi nama sesuai dengan karakteristik serta fungsi masing-masing daerah, termasuk Desa Kukuh yang dikenal sebagai wilayah pertahanan.
Sejarah Desa Kukuh merupakan bagian dari dinamika politik dan sosial Kerajaan Tabanan di abad ke-17. Dari kisah perjalanan Sirarya Ngurah Gede hingga terbentuknya Puri Agung dan Kerambitan, desa ini memiliki jejak sejarah yang kuat.
Keberadaannya tidak hanya mencerminkan perjuangan dalam mempertahankan hak dan kehormatan, tetapi juga menggambarkan bagaimana wilayah-wilayah di Bali berkembang berdasarkan nilai budaya, spiritual, serta ketatanegaraan. (TB)