Sejarah Desa Penarungan Badung, Berkaitan dengan Perjalanan I Gusti Ngurah Putu Kamasan

Author:
Share
Desa Penarungan, yang terletak di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, memiliki sejarah panjang yang berakar dari perjalanan leluhur yang menetap di wilayah ini. Berdasarkan kisah turun-temurun, sekitar tahun 900 SM, dua bersaudara bernama I Gusti Ngurah Putu Kamasan dan I Gusti Ngurah Ketut Kamasan memulai perjalanan dari Desa Gelgel, Klungkung, bersama 60 kepala keluarga yang setia mengikuti mereka. 
Awalnya, tujuan mereka adalah Desa Sibang Srijati (sekarang Sibang Gede, Kecamatan Abiansemal), tempat mereka menetap sementara di Tanah Ayu Blungbungan. Setelah beberapa waktu, sebagian dari rombongan memutuskan untuk berpindah ke barat, menetap di tengah sawah yang kini dikenal sebagai Munduk Umadesa dan Munduk Umariyon. 
Sementara itu, I Gusti Ngurah Putu Kamasan dan adiknya memilih menetap di sebuah lokasi yang kini disebut Jero Jasa. Di sana, mereka mulai mengolah tanah dengan membuka sawah dan ladang untuk menanam padi serta palawija.  
Beberapa tahun kemudian, gangguan tak terduga menimpa I Gusti Ngurah Ketut Kamasan. Pondok tempat tinggalnya diserang oleh koloni semut yang terus berdatangan dalam jumlah besar. 
Upaya untuk memusnahkan serangan tersebut tidak membuahkan hasil, sehingga mereka kehabisan cara untuk mengatasinya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk pindah ke arah timur laut.  
Saat mencari tempat baru, I Gusti Ngurah Putu Kamasan mulai membuka lahan di area semak belukar untuk dijadikan pemukiman. Di lokasi ini, mereka mendirikan Sanggar Tawang di atas batu besar sebagai tempat pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. 
Sebagai wujud rasa syukur dan permohonan keselamatan, mereka membangun Pura Batu Aya, yang hingga kini masih dipercaya sebagai tempat sakral di mana pujawali diadakan setiap selesai panen untuk tujuan Nangluk Merana, khususnya untuk menjaga hasil pertanian dan hewan peliharaan dari gangguan penyakit.  
Seiring waktu, I Gusti Ngurah Putu Kamasan menetap di sebelah barat Sanggar Tawang, sementara beberapa pengikutnya membangun tempat tinggal di sekitar kawasan tersebut. Di depan rumahnya, terdapat batu besar dan pipih yang digunakan sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah dengan pengikutnya. 
Di utara Sanggar Tawang, mereka mendirikan pasar untuk memasarkan hasil pertanian mereka. Menyadari pentingnya sumber daya air untuk pertanian, para pengikut yang masih menetap di Munduk Umadesa dan Munduk Umariyon mulai mencari sumber mata air yang lebih besar. 
Akhirnya, mereka menemukan sebuah sumber air yang sangat jernih, dengan aliran air yang berputar-putar di antara batuan. Sumber air ini menjadi berkah bagi mereka, karena mampu menyuburkan ladang dan sawah. 
Dari fenomena ini, mereka menamakan air tersebut sebagai “Air Arungan.” Seiring waktu, sistem irigasi yang mengalir dari sumber ini dikenal sebagai Subak Penarungan, yang tetap berfungsi hingga kini.    
Dalam upaya memperkuat kehidupan sosial dan spiritual, masyarakat di wilayah ini mulai mendirikan Pura Kahyangan Tiga secara sederhana. Selain itu, beberapa banjar mulai terbentuk, seperti:  
1. Banjar Sungguhan (Sanggoan) – Tempat yang dijadikan pusat ketenangan dan keamanan masyarakat.  
2. Banjar Blungbang – Tempat pertama kali dibuat belumbang (kolam) untuk mengalirkan air dari Air Arungan ke selatan.  
3. Banjar Dauh Peken (sebelumnya Banjar Abing) – Dikenal sebagai pusat pembuatan gerabah dari tanah liat.  
4. Banjar Dangin Peken (sebelumnya Banjar Pemayukan) – Area yang dulunya menjadi tempat pembakaran gerabah.    
Seiring berkembangnya desa, diceritakan bahwa seorang pendeta bernama Ida Enderan datang atas perintah Dalem Gelgel untuk bertemu dengan I Gusti Ngurah Putu Kamasan. Sang pendeta tiba di pasar dan terlihat mengumpulkan sisa nasi yang tercecer, lalu menusukkannya dengan sehelai ijuk. Seorang parekan yang melihat kejadian ini segera melaporkannya kepada I Gusti Ngurah Putu Kamasan.  
Saat pertemuan berlangsung, nasi yang telah dikumpulkan dan dititipkan kepada istri I Gusti Ngurah Putu Kamasan tidak sengaja jatuh dan berserakan. Merasa tersinggung, Ida Enderan mengeluarkan kutukan:  
“Semoga keturunanmu nanti terpencar-pencar seperti nasi yang jatuh berserakan di tanah!”
Merasa tidak terima, I Gusti Ngurah Putu Kamasan membalas dengan kutukan serupa:  
“Jika ada keturunan Brahmana di desa ini yang tidak setia kepada pemerintahanku, semoga mereka juga tidak mendapatkan keselamatan selamanya!”
Setelah mengucapkan kutukannya, Ida Enderan menghilang tanpa jejak.  
Nama Penarungan berasal dari fenomena Air Arungan yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat desa ini. Dari sinilah muncul istilah Subak Penarungan, merujuk pada sistem irigasi yang berasal dari Air Arungan.  
Kisah ini diwariskan oleh I Gusti Ngurah Raka Kamasan, keturunan I Gusti Ngurah Putu Kamasan, yang masih hidup hingga tahun 1990 dan bertempat tinggal di Banjar Sengguan, Desa Penarungan. Sejarah ini tidak hanya menjadi bagian dari warisan leluhur, tetapi juga cerminan perjuangan dan kebijaksanaan nenek moyang dalam membangun komunitas yang harmonis dan sejahtera. (TB)
   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!