Desa Kemenuh, yang terletak di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, memiliki sejarah panjang yang tercatat dalam naskah kuno “Babad Brahmana Kemenuh”. Awalnya, wilayah ini dikenal sebagai Desa Tegal Wanasari sebelum akhirnya berkembang menjadi Desa Kemenuh seperti yang kita kenal sekarang.
Menurut catatan dalam lontar tersebut, perubahan nama menjadi Wanasari Kemenuh berkaitan erat dengan pembangunan Pura Dalem Kemenuh oleh Ida Kemenuh. Di pura tersebut, didirikan pula Meru Tumpang Tiga sebagai penghormatan kepada Bhatari Adi Swari Yogi Sinungsung.
Keberadaan pura inilah yang menjadi dasar bagi penyebutan nama Desa Kemenuh, yang pada masa itu berada dalam wilayah Blahbatuh dan terkait erat dengan Sukawati. Sejarah desa ini juga berhubungan dengan perjalanan spiritual Danghyang Dwijendra menuju Puri Gelgel.
Dalam perjalanannya, beliau sempat singgah di Desa Gading Wani, di mana salah satu putranya, Ida Kumenuh, menerima gelar kependetaan setelah melalui upacara pediksan. Setelah diksa, ia dikenal sebagai Mpu Rambut atau Romo Sinungsung dan menetap di desa tersebut bersama istrinya, Patni Yogi Sinungsung.
Setelah beberapa waktu, Mpu Romo Sinungsung merasa perlu menyusul Danghyang Dwijendra ke Puri Gelgel. Ia berangkat bersama dua putranya serta beberapa pengikut.
Namun, ketika tiba di sana, mereka mendapati bahwa Danghyang Dwijendra telah melanjutkan perjalanan ke Lempuyang dan kemudian ke Uluwatu. Keinginan untuk bertemu gurunya membuat Mpu Romo Sinungsung terus melanjutkan perjalanan hingga tiba di Sanur.
Sayangnya, di sana rombongan mengalami hambatan akibat wabah penyakit yang melanda daerah tersebut. Sementara itu, Patni Yogi Sinungsung yang masih berada di Desa Gading Wani merasa cemas karena tidak ada kabar dari suaminya.
Dengan tekad kuat, ia memutuskan untuk mencarinya hingga ke Puri Gelgel. Dalam perjalanan, ia sempat tinggal di Puri Den Bukit atas undangan Ki Gusti Panji Sakti, penguasa Bali Utara, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke selatan. Namun, ketika tiba di Desa Tegal Wanasari, ia jatuh sakit dan tidak bisa melanjutkan perjalanannya.
Penduduk setempat, terutama dua perempuan dari keluarga Sengguhu, segera memberikan pertolongan dengan membawanya ke rumah mereka. Sayangnya, kondisi kesehatan Patni Yogi Sinungsung terus memburuk hingga akhirnya ia wafat di desa tersebut.
Kabar duka ini segera sampai kepada Mpu Romo Sinungsung yang masih berada di Sanur. Ia pun bergegas menuju Tegal Wanasari bersama kedua putranya dan beberapa pengikutnya.
Setibanya di desa itu, suasana duka semakin mendalam. Mpu Romo Sinungsung segera mengadakan upacara penyucian bagi mendiang istrinya dengan penuh penghormatan.
Sebagai bagian dari penghormatan spiritual, ia membangun berbagai tempat suci, termasuk Gandha Mayu, Pura Dalem, serta Kuta Wesma dan Tunon di desa tersebut. Setelah upacara selesai, desa ini diberi nama baru: Wanasari Kemenuh, sebagai bentuk penghormatan kepada Ida Kumenuh yang telah mendirikan Pura Dalem di sana. Di dalam pura tersebut, dibuat pula Stana pemuliaan berupa Meru Tumpang Tiga untuk Bhatari Adi Swari Sinungsung.
Perubahan nama ini menjadi titik penting dalam sejarah desa tersebut. Seiring berjalannya waktu, penyebutan “Wanasari Kemenuh” akhirnya disederhanakan menjadi “Desa Kemenuh”. Inilah asal-usul nama desa yang kini menjadi bagian penting dari warisan budaya dan sejarah Bali. (TB)