![]() |
Sumber pixabay.com |
Kematian
akan menghampiri semua makhluk hidup tanpa terkecuali. Namun ada beberapa jalan
menuju kematian, ada yang mati dikarenakan sakit atau usia, ada kematian yang
disebabkan oleh kecelakaan atau tak terduga yang disebut dengan salah pati, serta adapula yang mati
dikarenakan bunuh diri atau disebut dengan ulah
pati.
akan menghampiri semua makhluk hidup tanpa terkecuali. Namun ada beberapa jalan
menuju kematian, ada yang mati dikarenakan sakit atau usia, ada kematian yang
disebabkan oleh kecelakaan atau tak terduga yang disebut dengan salah pati, serta adapula yang mati
dikarenakan bunuh diri atau disebut dengan ulah
pati.
Umumnya
manusia menginginkan kematian yang wajar. Namun adapula karena sesuatu hal
melakukan bunuh diri atau melakukan ulahpati. Dalam epos Mahabharata, disebutkan bahwa tokoh Drestarastra
yang merupakan ayah dari para Kurawa melakukan bunuh diri saat di hutan.
manusia menginginkan kematian yang wajar. Namun adapula karena sesuatu hal
melakukan bunuh diri atau melakukan ulahpati. Dalam epos Mahabharata, disebutkan bahwa tokoh Drestarastra
yang merupakan ayah dari para Kurawa melakukan bunuh diri saat di hutan.
Dalam
Asrama Wasika Parwa yang dikutif dari Kajian
Epos Mahabharata Sebagai Sumber Ajaran Etika Politik Hindu yang disusun I Nyoman
Subagia dituliskan, setelah perang Bharata Yudha, Raja Drestarastra bersama
istrinya yaitu Dewi Ghandari, Dewi Kunti dan Widura melakukan pertapaan di
tengah hutan. Dalam pertapaan itu, ketiganya meninggal dalam kebakaran hutan
yang hebat yang diakibatkan oleh api suci Drestarastra.
Asrama Wasika Parwa yang dikutif dari Kajian
Epos Mahabharata Sebagai Sumber Ajaran Etika Politik Hindu yang disusun I Nyoman
Subagia dituliskan, setelah perang Bharata Yudha, Raja Drestarastra bersama
istrinya yaitu Dewi Ghandari, Dewi Kunti dan Widura melakukan pertapaan di
tengah hutan. Dalam pertapaan itu, ketiganya meninggal dalam kebakaran hutan
yang hebat yang diakibatkan oleh api suci Drestarastra.
Mengetahui
hal itu, Para Pandawa dan seluruh rakyat Astina bersedih dan berita itu juga
disampaikan ke Mantura dan Dwaraka. Krisna datang ke Hastina dan terjadilah
dialong antara Krisna dan Yudistira. Krisna mengatakan jika mereka bertiga memang
telah lama menunggu kematian dengan rela hati. Namun Yudistira tetap bersedih
dikarenakan caranya yang mengerikan. Krisna pun menjawab bahwa semua kematian
pasti ada sebabnya, ada yang mati karena berperang, ada yang mati karena sakit,
ada yang mati karena kecelakaan, dan sebagainya. Hal itu semuanya sama saja dan
semua harus menerima kematian dengan pasrah kepada Ida Sang Hyang Widhi.
hal itu, Para Pandawa dan seluruh rakyat Astina bersedih dan berita itu juga
disampaikan ke Mantura dan Dwaraka. Krisna datang ke Hastina dan terjadilah
dialong antara Krisna dan Yudistira. Krisna mengatakan jika mereka bertiga memang
telah lama menunggu kematian dengan rela hati. Namun Yudistira tetap bersedih
dikarenakan caranya yang mengerikan. Krisna pun menjawab bahwa semua kematian
pasti ada sebabnya, ada yang mati karena berperang, ada yang mati karena sakit,
ada yang mati karena kecelakaan, dan sebagainya. Hal itu semuanya sama saja dan
semua harus menerima kematian dengan pasrah kepada Ida Sang Hyang Widhi.
Subagia
mengatakan terkait jalan kematian yang ditempuh Drestarastra merupakan ulah pati. Ada beberapa pendapat yang
muncul mengenai ulah pati ini.
Pertama, jika ada orang ulah pati maka
mayatnya harus dikubur atau tidak boleh diaben dalam jangka waaktu tiga tahun
sejak yang bersangkutan meninggal dunia. “Untuk mengukuhkan pendapat ini
pihak pendeta tersebut, melakukan penekanan-penekanan sampai pada ancaman yang
isinya jika petunjuk ini dilanggar, pendeta tersebut tidak bersedia untuk
memimpin nupacara yang terkait dengan pitra yadnya yang bersangkutan,”
tulis Subagia.
mengatakan terkait jalan kematian yang ditempuh Drestarastra merupakan ulah pati. Ada beberapa pendapat yang
muncul mengenai ulah pati ini.
Pertama, jika ada orang ulah pati maka
mayatnya harus dikubur atau tidak boleh diaben dalam jangka waaktu tiga tahun
sejak yang bersangkutan meninggal dunia. “Untuk mengukuhkan pendapat ini
pihak pendeta tersebut, melakukan penekanan-penekanan sampai pada ancaman yang
isinya jika petunjuk ini dilanggar, pendeta tersebut tidak bersedia untuk
memimpin nupacara yang terkait dengan pitra yadnya yang bersangkutan,”
tulis Subagia.
Namun
pendapat lain menyatakan mereka yang ulah pati adalah kematian biasa oleh
karenanya harus diupacarai layaknya orang yang meninggal biasa. Dan terkait
kematian ulah pati ini, dalam Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap
Aspek- Aspek Agama Hindu I – XV disebutkan setiap orang meninggal harus
diupacarai sesuai dengan ajaran sastra agama Hindu.
pendapat lain menyatakan mereka yang ulah pati adalah kematian biasa oleh
karenanya harus diupacarai layaknya orang yang meninggal biasa. Dan terkait
kematian ulah pati ini, dalam Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap
Aspek- Aspek Agama Hindu I – XV disebutkan setiap orang meninggal harus
diupacarai sesuai dengan ajaran sastra agama Hindu.
Khusus
bagi yang ngulah pati, upacara atau upakaranya ditambah dengan banten
pengulapan di tempat kejadian, perempatan atau pertigaan jalan dan cangkem
setra. Banten pengulapan dipersatukan dengan jenazah baik yang dikubur maupun lewat
atiwa-tiwa. Sehingga dengan adanya Keputusan PHDI ini artinya memberikan
perlindungan kepada umatnya.
bagi yang ngulah pati, upacara atau upakaranya ditambah dengan banten
pengulapan di tempat kejadian, perempatan atau pertigaan jalan dan cangkem
setra. Banten pengulapan dipersatukan dengan jenazah baik yang dikubur maupun lewat
atiwa-tiwa. Sehingga dengan adanya Keputusan PHDI ini artinya memberikan
perlindungan kepada umatnya.
Selain
itu, Penyuluh Agama Hindu Kecamatan Rendang, Ida Made Pidada Manuaba menyebutkan
kematian dan cara mati seseorang sudah diperjanjikan jauh ketika Sang Atma
belum reinkarnasi yaitu ketika Sang Atma menghadap kepada Hyang Wisesa. Oleh
karena itu, menurut Lontar “Puja Pengabenan” Sang Pandita yang memimpin upacara
pengabenan berkewajiban menuntun Sang Atma dalam perjalanannya menghadap Hyang
Wisesa dengan nasihat atau pitutur kepada Sang Atma ketika upacara Nyekah.
Pitutur tersebut disebut dengan “Puja Putru Saji Nyekah”.
itu, Penyuluh Agama Hindu Kecamatan Rendang, Ida Made Pidada Manuaba menyebutkan
kematian dan cara mati seseorang sudah diperjanjikan jauh ketika Sang Atma
belum reinkarnasi yaitu ketika Sang Atma menghadap kepada Hyang Wisesa. Oleh
karena itu, menurut Lontar “Puja Pengabenan” Sang Pandita yang memimpin upacara
pengabenan berkewajiban menuntun Sang Atma dalam perjalanannya menghadap Hyang
Wisesa dengan nasihat atau pitutur kepada Sang Atma ketika upacara Nyekah.
Pitutur tersebut disebut dengan “Puja Putru Saji Nyekah”.
Ida
Pandita Mpu Jaya Prema Ananda dalam artikelnya Bunuh Diri Siksa tak Terampuni menuliskan dalam Kitab Yayur Veda
40.3 disebutkan Asurya nama te loka
andhena tamasavratah, tamse pretyapi gachati ye ke catmahano janah. Artinya,
seseorang yang bunuh diri akan pergi ke asurya loka yang penuh dengan
kegelapan. Asurya loka merupakan alam tergelap dan tak menemukan jalan keluar
dari kegelapan itu selama beratus-ratus tahun.
Pandita Mpu Jaya Prema Ananda dalam artikelnya Bunuh Diri Siksa tak Terampuni menuliskan dalam Kitab Yayur Veda
40.3 disebutkan Asurya nama te loka
andhena tamasavratah, tamse pretyapi gachati ye ke catmahano janah. Artinya,
seseorang yang bunuh diri akan pergi ke asurya loka yang penuh dengan
kegelapan. Asurya loka merupakan alam tergelap dan tak menemukan jalan keluar
dari kegelapan itu selama beratus-ratus tahun.
Menurut
Ida, mati yang utama adalah mati setelah menjalani sakit dikarenakan melewati
proses. “Akan lebih utama lagi kalau dalam proses kematian itu masih sadar
melantunkan dalam hati berbagai mantram, misalnya, Mantram Gayatri sebagai ibu
dari segala mantram. Setidaknya memusatkan perhatian pada hal-hal spiritual,
mencoba melepaskan diri dari ikatan duniawi,” tulis Ida. (TB)
Ida, mati yang utama adalah mati setelah menjalani sakit dikarenakan melewati
proses. “Akan lebih utama lagi kalau dalam proses kematian itu masih sadar
melantunkan dalam hati berbagai mantram, misalnya, Mantram Gayatri sebagai ibu
dari segala mantram. Setidaknya memusatkan perhatian pada hal-hal spiritual,
mencoba melepaskan diri dari ikatan duniawi,” tulis Ida. (TB)