Desa Taman, yang kini menjadi bagian dari Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, memiliki sejarah panjang yang terkait erat dengan Kerajaan Mengwi dan Sukawati. Sejarah desa ini banyak didasarkan pada cerita turun-temurun yang diwariskan oleh para sesepuh desa.
Meskipun minim bukti tertulis, kisah tentang asal-usul Desa Taman tetap menjadi bagian penting dalam memahami perkembangan wilayah ini. Sebelum terbentuknya Desa Taman, kawasan ini merupakan lahan pertanian, perkebunan, dan hutan yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mengwi.
Wilayah ini masuk dalam administrasi Kemancan Abiansemal, sebuah daerah strategis yang dipimpin oleh I Gusti Lanang Dauh atas perintah Raja Mengwi. Di bawah kepemimpinannya, Abiansemal berkembang pesat, baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya.
Keberhasilan ini menimbulkan kekhawatiran di pihak Raja Mengwi karena pertumbuhan yang tidak seimbang dengan wilayah lainnya. Untuk mengatasi ketimpangan tersebut, Raja Mengwi menetapkan pajak atau utpeti yang tinggi di Abiansemal.
Namun, I Gusti Lanang Dauh menolak kebijakan ini, karena merasa wilayahnya masih memerlukan dukungan pembangunan dari kerajaan.bPerbedaan pandangan antara I Gusti Lanang Dauh dan Raja Mengwi semakin tajam.
Puncaknya terjadi saat sebuah upacara yadnya di Abiansemal, di mana diadakan tajen (sabung ayam). Dalam pertandingan tersebut, ayam aduan milik I Gusti Lanang Dauh mengalahkan ayam milik Raja Mengwi.
Kekalahan ini membuat Raja Mengwi merasa terhina dan menggunakannya sebagai alasan untuk menuduh I Gusti Lanang Dauh sebagai pembangkang. Dengan dalih tersebut, Raja Mengwi mengerahkan pasukan untuk menangkap I Gusti Lanang Dauh.
Tidak menyadari adanya ancaman, I Gusti Lanang Dauh terkejut ketika pasukan kerajaan tiba-tiba mengepung wilayahnya. Ia berusaha melawan, tetapi dalam kondisi yang tidak siap, ia terdesak. Akhirnya, ia gugur di sebuah persawahan di selatan Desa Abiansemal, yang kini dikenal sebagai Munduk Subuk.
Setelah kematian I Gusti Lanang Dauh, anak-anaknya melarikan diri ke berbagai arah. Salah satu putranya menuju utara dan bersembunyi di perkebunan yang kini dikenal sebagai Banjar Tegal di Desa Selat, sebelum akhirnya menetap di Grana, Desa Sangeh.
Sementara itu, dua putra lainnya, I Gusti Lanang Made dan I Gusti Lanang Nyoman, melarikan diri ke timur menuju wilayah Kerajaan Sukawati untuk mencari perlindungan. Raja Sukawati menerima mereka dan memberikan wilayah untuk dikelola.
Dengan kepemimpinan yang kuat, mereka berhasil membangun kawasan ini menjadi permukiman yang berkembang pesat. Keindahan tata ruangnya menyerupai taman kerajaan, sehingga Raja Sukawati menamainya Desa Taman.
Kesuksesan Desa Taman ternyata menimbulkan kecemburuan di antara pejabat lain di Kerajaan Sukawati. Laporan palsu pun disampaikan kepada raja, menuduh I Gusti Lanang Made dan I Gusti Lanang Nyoman merencanakan pemberontakan.
Raja Sukawati, yang terhasut oleh laporan tersebut, mengerahkan pasukan untuk menangkap mereka. Dalam pertempuran yang terjadi, I Gusti Lanang Made terluka parah akibat sabetan keris pusaka. Ususnya terurai, dan ia segera membalutnya dengan ikat pinggang (pepetet).
Tempat kejadian itu kini dikenal sebagai Taman Ubud. Meski terluka, mereka tetap melarikan diri ke arah barat, mencari perlindungan di sebuah hutan yang dianggap suci, yang kemudian dinamai Kedewatan.
Dalam kondisi terluka, mereka melanjutkan perjalanan ke selatan hingga tiba di sebuah tempat di tepi Sungai Ayung. Karena kehausan akibat kehilangan banyak darah, mereka mencari sumber air, dan lokasi ini kemudian dinamai Sayahan (kini Desa Sayan).
Perjalanan mereka berakhir di sebuah tempat di mana mereka kembali menghadapi pasukan Raja Sukawati yang menggunakan ilmu hitam (aji pengiwa).
Meskipun mengalami banyak rintangan, keturunan I Gusti Lanang Dauh tetap bertahan dan melanjutkan pembangunan Desa Taman. Hingga kini, desa ini berkembang menjadi kawasan yang makmur dan tetap menjaga nilai-nilai budaya serta sejarahnya.
Sejarah Desa Taman bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi juga menjadi cerminan perjuangan dan keteguhan dalam menghadapi tantangan. Kisah ini terus diwariskan dari generasi ke generasi, sebagai pengingat akan asal-usul desa yang kaya akan sejarah dan nilai-nilai kepemimpinan yang luhur. (TB)