Mengenang Sosok Dadap atau Nyoman Pidada, Sosok Pelawak Legendaris Drama Gong Bali

Author:
Share
Istimewa
I Nyoman Pidada, yang lebih dikenal dengan nama panggung Dadap, adalah salah satu seniman lawak legendaris di Bali. Lahir di Desa Sukawati, Gianyar, Bali, pada 12 Agustus 1942, ia dikenal luas sebagai pemain drama gong kawakan. 
Sosoknya yang jenaka dan khas dalam peran punakawan menjadikannya sangat dicintai masyarakat Bali, terutama pada masa kejayaan drama gong di era 1980-an hingga 1990-an. Bersama kelompok drama gong “Bintang Bali Timur,” ia mencetak sejarah dalam dunia hiburan tradisional Bali.
Sebagai seorang punakawan, Dadap selalu berpasangan dengan Kiul, membentuk duet komedi yang tak terlupakan. Karakternya yang enerjik kontras dengan Kiul yang lambat dan pemalas, menciptakan humor yang khas dan menghibur. 
Bahkan dalam diam sekalipun, ia mampu mengundang tawa penonton. Dengan tata rias wajah dan kostum khas, Dadap menjadi ikon lawakan dalam drama gong.
Kariernya di dunia drama gong dimulai sejak dekade 1970-an dan semakin bersinar menjelang akhir era tersebut. Ia beradu peran dengan tokoh-tokoh terkenal lainnya seperti Petruk, Dolar, Gangsar, Gingsir, Bagong, Kiul, Komang Apel, dan Raja Buduh. Keberadaannya di dunia hiburan bukan hanya sebatas drama gong, tetapi juga aktif dalam pertunjukan tari barong.
Dedikasi dan kontribusinya dalam seni pertunjukan Bali mendapat apresiasi besar. Pada tahun 2011, ia dianugerahi penghargaan Wija Kusuma oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar sebagai bentuk penghormatan atas kiprahnya di dunia seni. 
Selain berkecimpung di dunia hiburan, ia juga memiliki latar belakang dalam seni bela diri. Bergabung dengan Perguruan Pencak Silat Perisai Diri ranting Sukawati sejak tahun 1966, ia merupakan salah satu anggota angkatan pertama dan terakhir kali menerima sabuk biru.
Pada 30 Januari 2019, di usia 77 tahun, Nyoman Pidada menghembuskan napas terakhirnya di RS Ganesha, Desa Celuk, Kecamatan Sukawati, akibat serangan stroke. Ia meninggalkan istri tercinta, Ni Made Uriani, serta empat anak perempuan yakni Ni Wayan Sumerti, Ni Made Widiasih, Ni Nyoman Sari Rahayu, dan Ni Ketut Anis Widiani, serta delapan cucu. 
Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi dunia seni Bali, namun karya dan kenangannya tetap abadi dalam ingatan para pecinta drama gong. (TB)
   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!