Dinas Kebudayaan Provinsi Bali melalui Penyuluh Bahasa Bali kembali melaksanakan program konservasi, identifikasi, dan digitalisasi lontar di Kabupaten Bangli. Kegiatan ini merupakan bagian dari Bulan Bahasa Bali VII Tahun 2025 dan berfokus pada dua desa di Kecamatan Kintamani, yakni Desa Kedisan dan Desa Suter yang dilaksanakan Jumat, 14 Februari 2025.
Menurut Kepala Bidang Sejarah dan Dokumentasi Kebudayaan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, I Made Dana Tenaya, kegiatan konservasi ini bertujuan untuk menyelamatkan naskah kuno yang masih tersimpan di masyarakat. “Lontar mengandung berbagai ilmu pengetahuan dan catatan penting dari leluhur yang perlu dijaga agar tetap dapat diwariskan kepada generasi mendatang,” jelasnya.
Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Bangli, I Wayan Sudarsana, menambahkan bahwa proses konservasi dilakukan melalui beberapa tahap, yakni observasi kondisi lontar, pembersihan, identifikasi, hingga digitalisasi. “Tujuannya adalah memastikan lontar tetap dalam kondisi baik dan bisa terus dibaca serta dipelajari,” ujarnya.
Di Desa Kedisan, tim konservasi berhasil menyelamatkan 30 cakep lontar milik Jro Penyarikan Bawa, yang juga merupakan Jro Penyarikan Desa Adat Kedisan. Lontar-lontar tersebut mencakup berbagai topik, seperti Catur Laba (hari baik bepergian), Usada (pengobatan), Sarining Kanda Pat Sari, Carun Sasih (upacara caru di Desa Adat Kedisan), Dharma Pawintenan, serta salinan prasasti Desa Kedisan. “Beberapa lontar yang kami temukan sudah dalam kondisi rusak dan membutuhkan perawatan lebih lanjut,” ungkap Sudarsana.
Sementara itu, di Desa Suter, kegiatan konservasi menyasar 25 cakep lontar milik I Nyoman Parta. Dari jumlah tersebut, 20 lontar masih dalam kondisi baik, sedangkan lima lainnya mengalami kerusakan.
Identifikasi menunjukkan keberagaman isi lontar, di antaranya Wariga, Pustaka Weda, Panulak Leak, Panyirep, Tamba Purus Lemah, Sarining Wariga Nasasari, Pretiti, dan Rare Angon.
Lebih lanjut, pemilik lontar mengharapkan program konservasi ini dapat dilanjutkan dengan alih aksara dan alih bahasa agar isi lontar lebih mudah dipahami. Namun, Sudarsana menegaskan bahwa proses tersebut membutuhkan waktu panjang dan akan dilakukan secara bertahap.
Jro Penyarikan Bawa menyampaikan bahwa lontar-lontar yang diwarisinya berasal dari leluhur dan memiliki nilai penting dalam kehidupan adat Desa Kedisan. “Beberapa lontar adalah milik desa yang disimpan di rumah, sementara yang lain merupakan warisan keluarga. Beberapa di antaranya sering kami baca sebagai rujukan dalam pelaksanaan upacara adat,” katanya.
Dengan adanya program konservasi ini, Jro Penyarikan Bawa berharap lontar-lontar tersebut tetap terjaga dan dapat diwariskan kepada generasi penerus. “Program ini sangat bermanfaat, karena lontar yang telah dibersihkan akan lebih awet, dan isinya—baik terkait usada maupun aturan adat—dapat terus digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat desa,” tutupnya. (TB)