Sejarah Nasi Jinggo, Kuliner Legendaris Bali yang Penuh Kenangan

Author:
Share
 

Nasi Jinggo, sering disebut sebagai versi Bali dari “nasi kucing,” telah lama menjadi bagian dari kekayaan kuliner Pulau Dewata. Hidangan ini dikenal dengan porsinya yang kecil dan dibungkus dalam daun pisang berbentuk segitiga. 
Di dalamnya terdapat berbagai lauk seperti ayam suwir, mie goreng, telur, tempe, serta serundeng. Meskipun kini mudah ditemukan di berbagai sudut kota, asal-usul Nasi Jinggo masih menyimpan kisah menarik dan perdebatan yang belum terpecahkan.  
Salah satu cerita yang beredar mengenai asal mula Nasi Jinggo datang dari Chef Henry Alexie Bloem. Ia pernah mengungkapkan bahwa ibunya adalah pencipta awal hidangan ini. 
Dalam sebuah unggahan di media sosial, ia menjelaskan bahwa pada tahun 1970-an, sang ibu mulai menjual nasi bungkus dengan pilihan lauk ayam, sapi, dan babi di kawasan Pelabuhan Benoa, Bali. Para sopir tangki Pertamina, pekerja pelabuhan, dan nelayan menjadi pelanggan setia yang mengandalkan nasi ini sebagai makanan praktis dan lezat.  
Asal-usul nama “Jinggo” konon berasal dari kebiasaan ayahnya yang gemar menonton film koboi klasik berjudul Django, yang dibintangi oleh Franco Nero. Saking seringnya lagu tema film tersebut dinyanyikan di rumah, anak-anak di lingkungan sekitar pun mulai memanggil putranya dengan sebutan “Djenggo.” 
Nama itu kemudian melekat pada ibunya, yang akhirnya dikenal sebagai Men Djenggo. Seiring waktu, nasi bungkus yang dijualnya pun ikut menyandang nama tersebut.  
Di masa keemasannya, Nasi Men Djenggo sangat laris di pasaran. Dengan harga kurang dari Rp 80 per bungkus, ibunda Henry mampu memproduksi antara 300 hingga 1000 bungkus setiap hari, terutama saat ada pesanan dari kapal pesiar yang bersandar di Pelabuhan Benoa. 
Namun, setelah lebih dari satu dekade berjualan, ia memutuskan untuk menghentikan usahanya pada tahun 1982 dan mengabdikan diri sebagai Mangku dalam ajaran Hindu.  
Dua tahun setelah usaha itu berakhir, nama Nasi Djenggo kembali muncul di Denpasar, tepatnya di sekitar Pasar Badung. Dari sana, hidangan ini terus berkembang dan menjadi salah satu ikon kuliner khas Bali, dikenal oleh masyarakat lokal hingga wisatawan mancanegara.  
Terlepas dari berbagai versi sejarah yang ada, satu hal yang tak terbantahkan—Nasi Jinggo bukan sekadar makanan, tetapi juga bagian dari perjalanan budaya, kisah keluarga, dan tradisi yang terus hidup dalam ingatan masyarakat Bali. (TB)
   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!