![]() |
Pixabay.com |
Desa Batukaang terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Desa ini berada sekitar 60 kilometer dari Kota Denpasar, 35 kilometer dari Kota Bangli, dan 18 kilometer dari ibu kota kecamatan. Dengan lanskap perbukitan berbatu, Batukaang menawarkan pemandangan alam yang memukau sekaligus menyimpan sejarah panjang yang masih dijaga oleh masyarakat setempat.
Hingga kini belum ditemukan dokumen atau prasasti yang mencatat secara resmi proses terbentuknya desa ini. Nama Batukaang sendiri menggambarkan lokasi desa yang berada di ketinggian dan dikelilingi perbukitan berbatu.
Selain keindahan alamnya, Batukaang juga memiliki peninggalan sejarah yang menakjubkan. Di desa ini, terdapat sekitar 188 arca kuno yang hingga kini masih dikeramatkan oleh penduduk setempat.
Arca-arca tersebut disimpan di beberapa pura, seperti Pura Puseh Batan Tiing, Pura Pusering Jagat, Pura Paseh Sangambu, Pura Sangambu, dan Pura Puncak Sari. Penelitian yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali menyebutkan bahwa arca-arca ini berasal dari zaman purbakala dan mencerminkan perpaduan antara kepercayaan Megalitik dengan ajaran Hindu. Kepercayaan Megalitik yang berpusat pada pemujaan roh nenek moyang berpadu dengan ajaran Hindu yang memuja manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa.
Penduduk Desa Batukaang berasal dari berbagai wilayah di Bali, seperti Gelgel di Klungkung, Batur, Songan, Kebon di Karangasem, Selulung, dan Celagi. Keberagaman asal-usul ini menunjukkan bahwa desa ini telah menjadi tempat pemukiman bagi pendatang dari berbagai daerah yang kemudian membaur dan membentuk komunitas dengan budaya yang tetap berakar pada tradisi Bali.
Sejarah kepemimpinan di Desa Batukaang mencatat berbagai perubahan dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakatnya. Pada tahun 1930 hingga 1946, desa ini dipimpin oleh I Made Tangki, yang dianggap sebagai pahlawan oleh warga setempat. Setelahnya, kepemimpinan beralih kepada I Made Teresna dari tahun 1946 hingga 1969, di mana terjadi peristiwa besar seperti letusan Gunung Agung yang menyebabkan kekeringan, kelaparan, dan wabah penyakit.
Pada tahun 1969, kepemimpinan desa dipegang oleh I Wayan Netel yang ditugaskan oleh Kantor Camat Kintamani. Namun, pada tahun 1970, terjadi wabah penyakit yang menyebabkan banyak anak berusia satu hingga enam tahun meninggal dunia. Setelah itu, I Made Karsa memimpin desa dari tahun 1971 hingga 2001.
Selama masa kepemimpinannya, berbagai peristiwa penting terjadi, seperti gempa Seririt pada tahun 1976 yang tidak menimbulkan kerusakan berarti, pembangunan Puskesmas pada tahun 1983 yang meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan, serta pengembangan sektor pertanian pada tahun 1990, di mana masyarakat mulai membudidayakan jeruk, kopi, cengkeh, dan beternak sapi. Pada tahun 1999, angin kencang melanda desa, mengakibatkan lima rumah penduduk mengalami kerusakan ringan.
Pada tahun 2001, kepemimpinan beralih ke I Made Dibya Astawa yang memimpin hingga tahun 2005. Selanjutnya, pada tahun 2005 hingga 2007, I Nyoman Patra menjabat sebagai pejabat sementara.
Desa Batukaang bukan hanya dikenal karena keindahan alamnya, tetapi juga karena sejarah panjang yang membentuk identitasnya. Dari masa kepemimpinan awal hingga saat ini, desa telah melalui berbagai tantangan dan perkembangan yang menjadikannya salah satu desa wisata budaya yang memiliki nilai sejarah tinggi di Bali.
Dengan peninggalan arca purbakala serta perpaduan budaya dan kepercayaan yang kuat, Batukaang tetap menjadi bagian penting dari warisan budaya Bali yang harus dijaga dan dilestarikan. (TB)