Desa Pempatan di Kecamatan Rendang, Karangasem, Bali, menyimpan kisah panjang yang lahir dari dinamika alam dan sejarah sosial masyarakatnya.
Wilayah ini dulunya bukanlah permukiman seperti sekarang, melainkan hamparan tanah berpasir yang perlahan-lahan berubah menjadi hutan rimbun.
Keberadaan manusia di kawasan ini pada masa awal belum diketahui secara pasti.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh Direktorat Vulkanologi, wilayah Pempatan terbentuk dari aliran lahar Gunung Batur yang mengalami letusan berulang di masa purba.
Tak hanya Batur, Gunung Agung yang merupakan gunung tertinggi di Bali juga kerap meletus, termasuk letusan dahsyat pada tahun 1963.
Letusan itu membawa hujan abu, pasir, dan batu, menyelimuti sebagian besar wilayah Pempatan. Dampaknya, sebagian tanah di desa ini menjadi subur, sementara bagian lainnya justru gersang dan sulit digarap.
Nama Pempatan sendiri memiliki makna historis. Awalnya, wilayah ini merupakan bagian dari Desa Besakih dan Desa Menanga.
Ketika dilakukan penentuan batas wilayah, tapal batas diletakkan di sisi utara Menanga. Karena lokasinya yang “tertutup”, daerah ini kemudian dinamakan “Pempatan”, yang dalam perkembangannya menjadi nama resmi desa.
Secara administratif, Desa Pempatan merupakan desa keempat yang berdiri di Kecamatan Rendang. Letaknya yang berada di perempatan wilayah utara kecamatan turut menguatkan penamaan tersebut.
Pada tahun 1937, struktur pemerintahan desa dibagi menjadi dua perbekelan: Perbekelan Menanga yang mencakup Banjar Keladian, Puregae, dan Geliang, serta Perbekelan Pempatan yang membawahi delapan banjar lainnya seperti Pemuteran, Waringin, Pule, hingga Banjar Pempatan sendiri. Perbekel pertama wilayah Pempatan saat itu adalah I Gusti Gede Putu.
Memasuki tahun 1955, wilayah Pempatan berkembang dan resmi menjadi perbekelan tersendiri, terdiri atas 13 banjar: Pempatan, Putung, Kubakal, Alasgandang, Teges, Waringin, Pemuteran, Pule, Puregae, Keladian, Geliang, serta dua wilayah dari Besakih (Kangin dan Kawan). I Nengah Dangin dipercaya sebagai Perbekel pertama pasca pemekaran tersebut.
Namun perubahan kembali terjadi pada tahun 1962, ketika Banjar Besakih Kangin dan Kawan dimekarkan menjadi Desa Besakih. Sejak saat itu, Desa Pempatan berdiri mandiri dengan 11 banjar dinas di bawah wilayahnya.
Tahun 1964 menandai era demokrasi lokal dengan pemilihan perbekel langsung. I Nengah Osek terpilih dan memimpin hingga tahun 2002.
Setelah masa jabatannya berakhir, estafet kepemimpinan berlanjut ke Ir. I Putu Sudiarsa (2002–2007), kemudian I Ketut Asmara Jaya (2008–2016).
Saat masa jabatannya selesai dan menunggu regulasi baru, posisi perbekel diisi oleh Penjabat (Pj.) yang kembali dipercayakan kepada Ketut Asmara Jaya untuk periode 2016–2018.
Tahun 2018 kembali digelar pemilihan perbekel dan terpilihlah I Nengah Suta yang memimpin hingga tahun 2023. Namun karena pelaksanaan pilkel (pemilihan perbekel) serentak diundur hingga 2025, Bupati Karangasem kemudian menunjuk Pande Ketut Arimbawan, SH sebagai Penjabat Perbekel yang menjabat hingga kini. (TB)