Desa Batuagung terletak di Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, Bali. Dahulu, wilayah ini dikenal dengan nama Jimbarwana, yang berarti hutan belantara yang luas.
Keberadaan desa ini dapat ditelusuri sejak abad ke-18 setelah selama hampir dua abad sebelumnya berfungsi sebagai hutan rimba. Perkembangan desa Batuagung tidak lepas dari sejarah panjang kerajaan dan migrasi penduduk yang terjadi di kawasan ini.
Setelah runtuhnya Kerajaan Brangbang sekitar tahun 1690 akibat bencana alam berupa tanah longsor dan banjir besar, salah satu pejabat kerajaan, yaitu I Gusti Made Yasa, kembali ke Mengwi untuk melaporkan kejadian tersebut kepada raja.
Tidak lama kemudian, ia diperintahkan kembali ke Jembrana bersama seratus orang pengikutnya untuk membangun permukiman baru di sebelah barat Sungai Tukadaya. Wilayah ini kemudian dikenal sebagai Puri Andul, dan I Gusti Made Yasa diangkat menjadi Manca Agung.
Karena di Puri Andul tidak ada penerus yang dapat menggantikannya, I Gusti Made Yasa kembali menghadap raja di Mengwi untuk memohon seorang putra raja yang dapat memimpin Jembrana. Permohonan tersebut dikabulkan, dan terjadi gelombang migrasi kedua yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Takmung dari Klungkung beserta putra raja yang masih kecil, I Gusti Alit Takmung. Rombongan yang terdiri dari dua ratus orang ini diterima di Puri Andul.
Setelah dewasa, I Gusti Alit Takmung dinobatkan sebagai raja Jembrana dengan gelar Anak Agung Ngurah Jembrana. Sekitar tahun 1715, ia membangun Puri Agung Jembrana, yang menjadi pusat pemerintahan. Wilayah di sekitar puri dalam radius 200 meter kemudian diberi nama Jembrana, yang hingga kini menjadi salah satu pusat administratif di sebelah barat Sungai Tukadaya.
Sebelum diangkat menjadi raja, I Gusti Alit Takmung melakukan pertapaan di sebuah batu besar di sebelah barat Sungai Tukadaya. Dalam pertapaannya, ia mendapatkan wahyu agar membangun tempat pemujaan Dewa Siwa demi keselamatan kerajaan dan masyarakatnya.
Untuk mewujudkan wahyu tersebut, ia mendirikan sebuah candi di dekat batu tersebut, yang diberi nama Candi Rawi. Batu tempat pertapaan ini dianggap suci dan bernilai besar, sehingga kawasan di sekitarnya diberi nama Batuagung.
Seiring waktu, batu bersejarah tersebut kini berada di tengah sungai akibat seringnya banjir yang mengubah aliran air di wilayah tersebut. Candi Rawi pun dipindahkan ke taman di batas selatan Desa Batuagung oleh Raja Jembrana III.
Wilayah Batuagung awalnya hanya mencakup area kecil, namun seiring waktu mulai berkembang dengan munculnya permukiman baru. Di sebelah timur Batuagung, terdapat tanah delta yang semakin luas dan subur, sehingga wilayah ini diberi nama Banjar Anyar. Kedua wilayah ini, Batuagung dan Banjar Anyar, menjadi pusat perkembangan awal desa.
Pada masa itu, masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang kelian. Banjar Anyar dipimpin oleh Ajin Ida Bagus Japa, yang kemudian digantikan oleh Ida Komang Banjar. Sementara itu, Batuagung ke utara dipimpin oleh Pan Kinon. Sebelumnya, wilayah-wilayah ini diperintah oleh kepala-kepala dari golongan Tri Wangsa.
Desa Batuagung terus berkembang dengan munculnya wilayah-wilayah baru yang kemudian menjadi banjar-banjar administratif. Di sebelah barat Banjar Batuagung, terdapat lahan yang ditanami tanaman sulasih harum untuk upacara raja, yang kemudian menjadi pemukiman dan diberi nama Banjar Tegalasih.
Wilayah Batuagung yang luas kemudian dibagi menjadi dua banjar, yaitu Banjar Batuagung di selatan dan Banjar Taman di utara. Nama Banjar Taman berasal dari taman kerajaan yang dibangun oleh Raja Jembrana pertama, yang juga mendirikan Pura Ulun Danu dan Ulun Swi di kawasan tersebut. Tempat ini kemudian berkembang menjadi lokasi penyucian upacara yadnya dan pengenteg merta bagi umat Hindu.
Di sebelah utara Banjar Taman, terdapat dataran tinggi yang pada tahun 1520 diperintah oleh Anglurah I Gusti Ngurah Sawe. Setelah wafatnya, pemukiman di kawasan tersebut diberi nama Banjar Sawe. Di utara Banjar Sawe, saat pembukaan lahan untuk pemukiman dan jalan, ditemukan sebuah sarkofagus kecil yang oleh penduduk setempat disebut palungan batu. Oleh karena itu, wilayah ini diberi nama Banjar Palungan Batu.
Di sebelah utara Banjar Anyar, terdapat tanah kosong yang sulit diolah karena kurangnya sistem irigasi. Para petani di kawasan ini mengalami kesulitan dalam bertani dan sering menderita akibat kondisi tanahnya yang kering, sehingga wilayah ini dinamakan Banjar Petanahan.
Lebih ke utara, terdapat kawasan perbukitan yang dikenal sebagai Banjar Masean. Nama ini berasal dari sumber air Yeh Masean yang ditemukan di dekat SD Negeri 3 Batuagung dan akhirnya mengalir ke Tukad Sebual. Sebelumnya, kawasan ini dikenal sebagai Bajera karena banyaknya pohon bajera yang tumbuh di sana.
Di bagian paling utara dan timur, berbatasan dengan Kecamatan Mendoyo, terdapat Banjar Panceseming. Nama ini berasal dari sungai bercabang lima yang mengalir di kawasan tersebut. Kata panca berarti lima, sedangkan seming berarti luas atau bercabang. Sungai-sungai di kawasan ini mencakup Panca Gede, Panca Seming, Panca Gua, Panca Moding, dan Panca Cerik, yang semuanya merupakan cabang dari Tukad Mendoyo.
Dengan perkembangan ini, Desa Batuagung kini terdiri dari sembilan banjar, yaitu Banjar Batuagung, Banjar Taman, Banjar Tegalasih, Banjar Anyar, Banjar Sawe, Banjar Petanahan, Banjar Palungan Batu, Banjar Masean, dan Banjar Panceseming.
Desa Batuagung terus berkembang mengikuti perubahan zaman, dengan penduduk yang semakin bertambah dan aktif berpartisipasi dalam pembangunan. Pemerintah desa saat ini berpegang pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, yang mengatur tata kelola desa secara lebih modern.
Dalam sejarah kepemimpinan desa, beberapa tokoh pernah menjabat sebagai kelian desa di Batuagung. Di Banjar Anyar, kepemimpinan pernah dipegang oleh Ida Putu Japa, Ajin Dayu Putu Kompiang, dan Ida Bagus Komang Banjar. Sementara itu, di Batuagung, kepemimpinan diawali oleh Pan Kinon dan dilanjutkan oleh I Nengah Kinon.
Pada tahun 1930, sistem pemerintahan desa mengalami perubahan, di mana istilah kelian desa diganti menjadi perbekel atau kepala desa. I Nengah Kinon menjadi perbekel pertama Desa Batuagung, yang saat itu mencakup beberapa banjar seperti Batuagung, Anyar, Sawe Kelod, Petanahan, Masean, dan Panceseming. Dengan pemekaran wilayah dan penyempurnaan administrasi, Desa Batuagung akhirnya terbagi menjadi sembilan banjar yang ada hingga saat ini.
Seiring waktu, desa ini terus berkembang dalam berbagai aspek, termasuk infrastruktur, pertanian, serta kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Desa Batuagung kini menjadi salah satu desa yang terus berkontribusi dalam pembangunan daerah Kabupaten Jembrana. (TB)