Desa Susut, yang kini menjadi bagian dari Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, Bali, memiliki sejarah panjang yang erat kaitannya dengan dinamika politik kerajaan-kerajaan Bali di masa lalu. Terletak di dataran tinggi dengan luas wilayah 4,83 km², desa ini berbatasan langsung dengan Desa Sulahan di utara, Desa Kawan di timur, Desa Abuan di selatan, dan Desa Selat di barat. Mayoritas wilayahnya dimanfaatkan untuk pertanian, mencerminkan karakter agraris yang tetap bertahan hingga kini.
Sebelum masa penjajahan Belanda, Pulau Bali diperintah oleh berbagai kerajaan yang kerap terlibat dalam peperangan demi memperluas pengaruhnya. Salah satu kerajaan yang berperan penting dalam sejarah Desa Susut adalah Kerajaan Bangli. Pada masa itu, Bangli diperintah oleh seorang raja keturunan Tirta Harum, Taman Bali, yang berasal dari Puri Nyalian.
Dalam silsilah kerajaan ini, seorang tokoh bernama I Dewa Gede Korian memiliki dua putra, yakni I Dewa Gede Sekar dan I Dewa Gede Siangan. I Dewa Gede Sekar, yang kemudian dianggap sebagai cikal bakal penguasa Puri Susut, mengalami masa pengasingan di Nusa Penida akibat kesalahan yang dilakukannya di Puri Tusan/Klungkung. Selama pengasingan, ia membawa serta putranya, I Dewa Putu Sekar.
Setelah bertahun-tahun, I Dewa Putu Sekar dan keturunannya kembali ke Bali dan menetap di Jelijih, Tabanan. Namun, ia akhirnya mengabdikan diri kepada Raja Bangli. Pada masa itu, konflik antara Kerajaan Bangli dan Gianyar sedang berlangsung, dan I Dewa Putu Sekar ditugaskan untuk memimpin pertahanan Bangli di wilayah barat yang kini dikenal sebagai Susut.
Dalam pertempuran melawan Gianyar, Susut berperan sebagai benteng pertahanan utama. Perbatasan strategisnya meliputi Selat Peken, Selat Tengah, dan Selat Kaja Kauh. Keberanian pasukan Bangli dalam mempertahankan wilayah ini membuat Susut menjadi daerah penting dalam sejarah peperangan antar kerajaan di Bali.
Namun, ketika Belanda menguasai Bali, wilayah rampasan perang dari Gianyar dikembalikan kepada kerajaan asalnya. Meski demikian, Susut, bersama beberapa daerah lainnya, tetap berada di bawah kekuasaan I Dewa Putu Sekar, yang kemudian meneruskan pemerintahannya secara turun-temurun.
Setelah Indonesia merdeka, sistem pemerintahan kerajaan di Susut mengalami perubahan signifikan. Wilayah ini tidak lagi diperintah oleh keturunan kerajaan, melainkan diintegrasikan ke dalam sistem pemerintahan modern sebagai desa yang dipimpin oleh seorang Kepala Desa atau Perbekel. Transformasi ini mencerminkan perubahan dari sistem feodal menuju pemerintahan yang lebih demokratis sesuai dengan struktur administrasi negara.
Hingga kini, Desa Susut tetap menjadi bagian penting dari Kecamatan Susut, dengan sektor pertanian yang dominan dan warisan sejarah yang masih dapat dirasakan dalam budaya serta tradisi masyarakatnya. Perjalanan panjang desa ini dari benteng pertahanan hingga menjadi wilayah administratif modern menunjukkan bagaimana dinamika politik dan sosial telah membentuk identitas Susut sepanjang zaman. (TB)