Dalam upaya menjamin keberlangsungan Program Penanggulangan HIV-AIDS di Bali, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali menyelenggarakan kegiatan Penyegaran HIV bagi Konselor. Kegiatan berlangsung selama tiga hari, mulai Rabu (27/8) hingga Jumat (29/8/2025) di ruang rapat Sekretariat Provinsi Bali.
Acara ini resmi dibuka oleh Kepala Sekretariat KPA Provinsi Bali, AA Ngurah Patria Nugraha, S.Sos., M.AP., didampingi oleh Pengelola Program Monitor dan Evaluasi KPA Provinsi Bali, Dian Pebriana, SKM.
Dalam sambutannya, AA Ngurah Patria Nugraha menekankan pentingnya kegiatan ini untuk menyamakan persepsi dalam pemberian informasi serta dasar-dasar konseling HIV dan VCT (Voluntary Counseling and Testing) di lapangan. Selain itu, tujuan utama penyegaran adalah meningkatkan pengetahuan serta keterampilan teknis para calon konselor HIV dan VCT.
“Yang terpenting adalah penyiapan tim atau Sumber Daya Manusia yang handal dengan komitmen kebersamaan yang tinggi serta profesional dalam pelaksanaan tugas pemberian layanan konseling HIV dan VCT,” ujarnya.
Sementara itu, Dian Pebriana, SKM menambahkan bahwa penyegaran ini menjadi bagian penting dalam menjamin keberlangsungan program penanggulangan HIV-AIDS di Bali, baik dari sisi kepemimpinan, informasi, maupun dukungan sumber daya.
“Saat ini Dinas Kesehatan Provinsi Bali telah mengembangkan dan meningkatkan jumlah layanan VCT, baik di Puskesmas, RS Pemerintah maupun RS Swasta di seluruh Bali. Namun kendala utama yang masih dihadapi adalah terbatasnya jumlah tenaga konselor,” jelasnya.
Ia menekankan, peran konselor sangat krusial dalam mengetahui status seseorang terinfeksi HIV atau tidak, sehingga langkah pengobatan dapat segera dilakukan. Namun, karena Indonesia masih menganut prinsip sukarela (voluntary) dan bukan mandatory, tes HIV hanya bisa dilakukan dengan persetujuan klien.
Hadir sebagai narasumber, Erijadi Sulaeman, Ketua Perkumpulan Konselor VCT HIV Indonesia, yang menegaskan bahwa konseling dan tes sukarela merupakan pintu masuk (entry point) penting untuk memberikan akses kepada masyarakat terhadap layanan HIV, baik berupa informasi, edukasi, maupun dukungan psikososial.
“Pada pertemuan pertama, kami memberikan materi dasar komunikasi bagi para peserta. Hal ini sangat penting karena saat bertemu klien di lapangan, konselor harus memahami pentingnya pendampingan. Dengan begitu, risiko kehilangan klien dalam proses follow up bisa diminimalisir,” jelasnya. (TB)
