![]() |
Istimewa |
Bali dikenal sebagai pulau dengan warisan budaya dan spiritual yang kuat. Salah satu peninggalan penting dalam sejarah Hindu Bali adalah Pura Silayukti, yang terletak di Teluk Padang (Padangbai), Desa Padangbai, Kecamatan Manggis, Karangasem.
Pura ini erat kaitannya dengan Mpu Kuturan, seorang tokoh agama yang berperan besar dalam membentuk sistem sosial dan keagamaan di Bali, termasuk konsep desa adat, kahyangan tiga, serta bangunan suci berbentuk meru. Keberadaan pura ini sudah ada sejak abad ke-11.
Dalam buku Wija Kasawur karya IB Gde Agastia, disebutkan bahwa Silayukti berarti tingkah laku yang benar dan baik. Nama ini mencerminkan kehidupan spiritual Mpu Kuturan yang dipenuhi dengan ajaran kebajikan. Di kawasan bukit yang dikenal sebagai Gunung Luhur inilah, Mpu Kuturan menjalani kehidupan sebagai pertapa dan mendalami konsep-konsep spiritual yang kelak menjadi dasar sistem keagamaan di Bali.
Mpu Kuturan adalah seorang brahmana yang datang ke Bali pada masa pemerintahan Raja Udayana dari Dinasti Warmadewa. Ia memiliki peran penting dalam membentuk struktur keagamaan dan sosial di Bali dengan memperkenalkan konsep kahyangan tiga, yaitu pura desa, pura puseh, dan pura dalem, yang masih diterapkan hingga saat ini.
Di Pura Silayukti, Mpu Kuturan bermeditasi dan menyebarkan ajaran dharma. Lokasi pura yang berada di ketinggian memungkinkan beliau untuk merenungkan kehidupan dan merancang konsep-konsep keagamaan yang visioner. Hingga kini, masyarakat Hindu Bali masih mengenang jasa Mpu Kuturan dalam piodalan yang diadakan secara rutin di pura ini.
Dalam naskah Dwijendra Tattwa disebutkan bahwa Raja Gelgel, Dhalem Waturenggong, pernah mengutus Ki Gusti Penyarikan untuk mengantarkan Danghyang Nirartha ke pasraman Mpu Kuturan di Silayukti. Danghyang Nirartha sendiri merupakan tokoh penting dalam penyebaran ajaran Siwa-Buddha di Bali. Beliau juga berperan dalam penyempurnaan konsep pemujaan keesaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui bangunan suci padmasana.
Sebelum tahun 1931, Pura Silayukti masih berupa satu bangunan suci berbentuk bebaturan. Namun, setelah masuknya pemerintahan kolonial Belanda, dilakukan renovasi dengan menambahkan berbagai pelinggih. Salah satu perubahan besar adalah pembangunan meru tumpang tiga untuk pemujaan Mpu Kuturan, yang masih berdiri hingga saat ini.
Selain itu, dibangun pula beberapa pesimpangan, antara lain:
– Pasimpangan Batara Lempuyang Luhur (Iswara)
– Pasimpangan Batara Pura Dasar Bhuwana Gelgel
– Pesimpangan Batara di Besakih (Putranjaya/Siwa-Mahadewa)
– Penyawangan ke Pura Lempuyang Madya
– Pesimpangan Batara di Andakasa
– Gedong sthana Batara Mahadewa
Bangunan suci lainnya yang terdapat di kompleks pura ini adalah manjangan sakaluang, gedong rong dua (kamimitan Empu Pascika), padmasana, gedong betel (Batara Manik Angkeran), serta meru tumpang dua (Ratu Pasek). Dalam beberapa dekade terakhir, Pura Silayukti mengalami berbagai renovasi dan pemugaran, terutama pada bagian tembok penyengker serta candi bentar yang kini tampak lebih megah.
Di sekitar Bukit Silayukti, terdapat dua pura lain yang juga memiliki nilai sejarah dan spiritual tinggi, yaitu Pura Tanjung Sari dan Pura Telaga Mas. Pura Tanjung Sari terletak di ujung selatan kaki bukit, sekitar 100 meter dari Pura Silayukti.
Pura ini diyakini sebagai tempat pemujaan Mpu Baradah, seorang resi yang pernah datang ke Bali atas perintah Raja Airlangga. Kedatangannya bertujuan untuk meminta agar salah satu putra Airlangga dapat memerintah di Bali. Namun, Mpu Kuturan menolak permintaan tersebut dengan alasan Bali harus tetap diperintah oleh Dinasti Warmadewa melalui Anak Wungsu, adik Raja Airlangga.
Sementara itu, Pura Telaga Mas berada di sisi utara Pura Silayukti. Pura ini diyakini sebagai tempat permandian Mpu Kuturan. Di pura ini hanya terdapat bangunan gedong dan bebaturan. Hingga kini, pura ini masih dikelola oleh Desa Adat Padangbai.
Pura Silayukti bukan sekadar tempat suci bagi umat Hindu di Bali, tetapi juga menjadi saksi bisu perjalanan spiritual dan pengaruh besar Mpu Kuturan dalam membentuk sistem keagamaan dan sosial di Bali. Dengan berbagai peninggalan suci dan tradisi yang masih dijaga hingga kini, pura ini tetap menjadi salah satu pusat spiritual yang penting di Pulau Dewata. (TB)