Sejarah Desa Nagasepaha Buleleng, Bermula dari Nangka Ampas

Author:
Share

Desa Nagasepaha terletak di Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, Bali, Indonesia. Berjarak sekitar 9 kilometer dari Singaraja, desa ini dikenal sebagai salah satu sentra seni dan kerajinan unik di Bali. 
Selain potensi seni, masyarakat Nagasepaha juga mengembangkan sektor pertanian dan industri kecil. Salah satu yang paling terkenal adalah seni wayang kaca, sebuah karya seni khas yang diciptakan di desa ini. 
Penduduk Nagasepaha kini lebih dari 1.000 jiwa, meskipun suasana desa tetap terasa tenang karena banyak warga yang merantau ke luar daerah. Walaupun sebagian besar penduduknya adalah petani dan pengrajin, Desa Nagasepaha dianggap telah berhasil keluar dari garis kemiskinan. 
Namun, ada segelintir masyarakat yang masih perlu dukungan untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik. Di samping itu, desa ini memiliki batas wilayah yang berbatasan dengan Desa Padang Bulia di utara, Desa Pegadungan di timur, Desa Petandakan di selatan, dan Desa Sari Mekar di barat.
Pada masa lampau, wilayah Desa Nagasepaha merupakan bagian dari Desa Prabakula, yang kini dikenal sebagai Desa Padang Bulia. Kala itu, Desa Prabakula memiliki wilayah yang sangat luas, mencakup Desa Pegadungan, Desa Nagasepaha, Desa Gitgit, Desa Ambengan, Desa Silangjana, hingga Desa Lemukih. Wilayah Nagasepaha sendiri dahulu dikenal sebagai Banjar Kelodan.
Sejarah penamaan Desa Nagasepaha bermula dari sebuah insiden yang terjadi saat piodalan agung di Pura Bale Agung, Desa Prabakula. Pada acara tersebut, setiap banjar diwajibkan memberikan “pesu-pesuan” atau persembahan, salah satunya berupa buah nangka yang akan digunakan sebagai bahan makanan. 
Banjar Kelodan pun turut membawa persembahan buah nangka. Namun, ketika nangka-nangka tersebut dibuka, yang ditemukan hanyalah ampasnya saja, tanpa daging buah yang bisa dimanfaatkan.
Bendesa Adat Prabakula yang memimpin upacara merasa kecewa dan memberikan kesempatan kedua kepada Banjar Kelodan untuk mempersembahkan buah nangka baru. Sayangnya, peristiwa yang sama terulang, di mana nangka yang dibawa kembali hanya berisi ampas. 
Situasi ini menimbulkan kemarahan, dan melalui paruman atau rapat adat, diputuskan bahwa jika kejadian serupa terjadi untuk ketiga kalinya, Banjar Kelodan akan dikeluarkan dari Desa Adat Prabakula.
Pada persembahan ketiga, keajaiban tidak terjadi, dan nangka yang dibawa tetap hanya berisi ampas. Akibatnya, 27 kepala keluarga dari Banjar Kelodan dipecat dari keanggotaan Desa Adat Prabakula. 
Keputusan ini membuat warga Banjar Kelodan mendirikan desa baru di wilayah mereka sendiri. Mereka juga membangun sebuah pura di ujung selatan desa yang diberi nama “Nagasepaha,” nama yang masih digunakan hingga saat ini.
Meski sejarah awal Nagasepaha diwarnai konflik, desa ini berhasil berkembang menjadi pusat seni yang unik, terutama seni wayang kaca dan wayang kulit. Seni wayang kaca merupakan salah satu warisan budaya yang kini menjadi identitas Nagasepaha, menarik perhatian banyak pecinta seni, baik lokal maupun internasional.
Desa Nagasepaha kini menjadi contoh bagaimana tradisi dan seni dapat menjadi pilar utama dalam membangun kesejahteraan masyarakat, tanpa melupakan akar sejarah dan budaya yang melatarbelakangi keberadaannya. (TB)
   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!