Dalam tradisi Hindu Bali, penentuan waktu upacara pernikahan tidak sembarangan. Salah satu periode paling populer adalah Sasih Kapat, yaitu bulan keempat dalam sistem penanggalan Saka Bali, yang dalam kalender Masehi biasanya bertepatan dengan September–Oktober .
Sasih Kapat dianggap menyimpan energi kesuburan. Bunga-bunga tumbuh subur, aroma harum tersebar, menandakan sinyal alam yang ideal untuk memulai babak baru kehidupan, termasuk rumah tangga.
Selain itu, dalam kalender Bali, Sasih Kapat dipercaya membawa kemakmuran dan kebahagiaan, menjadikannya salah satu waktu yang dianggap paling cocok untuk melangsungkan pernikahan .
Salah satu tradisi nyata yang berkaitan dengan Sasih Kapat adalah nikah massal Desa Pakraman Pengotan di Bangli. Tradisi ini dilaksanakan dua kali setahun—pada Sasih Kapat dan Sasih Kadasa—sebagai upaya meringankan beban keluarga calon pengantin dengan biaya pernikahan minimal sekitar Rp 450 ribu per pasangan.
Dalam pandangan klasik Bali, beberapa bulan atau sasih lain juga dianggap baik untuk upacara pernikahan:
Sasih Katiga: menandakan keturunan banyak (bala putra).
Sasih Kalima (Margasirsa): menjanjikan kemakmuran dan kelancaran rezeki.
Sasih Kapitu: diharapkan membawa umur panjang dan keharmonisan rumah tangga.
Sasih Kadasa: sering dianggap bulan terbaik karena penuh kebahagiaan, kesejahteraan, dan langgeng.
Pemilihan waktu pernikahan di Bali bukan semata soal kalender, melainkan penyelarasan dengan alam, budaya, dan spiritualitas. Waktu yang dianggap baik dipercaya memperkuat fondasi rumah tangga, menjaga harmoni, dan memberi keberkahan. (TB)