Tak pernah terbayang sebelumnya oleh Athanasia Gusanto, gadis asal Buleleng, bahwa langkah kecilnya sebagai putri seorang pedagang warung bisa mengantarnya menjadi satu-satunya mahasiswa Indonesia yang diterima di salah satu universitas terbaik dunia di Inggris, negeri Raja Charles.
Atha, begitu ia akrab disapa, lahir pada Juni 2003 dan tumbuh dalam keterbatasan ekonomi. Namun keterbatasan itu justru membentuk keteguhan hatinya. Selepas menempuh studi di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), ia lulus hanya dalam waktu 3,5 tahun dengan predikat cumlaude. Sebagai penerima beasiswa KIP-K (Kartu Indonesia Pintar – Kuliah), Atha membuktikan bahwa latar belakang bukan halangan untuk bersaing di panggung akademik.
“Target saya memang setelah S1 harus lanjut S2. Entah di dalam negeri atau luar negeri, yang penting saya maju,” katanya dilansir dari situs Pemkab Buleleng.
Dengan tekad itu, Atha mendaftar ke lima universitas ternama di Inggris. Tak disangka, semuanya menerima, termasuk University of Edinburgh, kampus impiannya yang masuk peringkat 10 besar dunia dan tiga besar di Inggris. Lebih mengejutkan lagi, ia bahkan lebih dulu memperoleh tawaran beasiswa penuh langsung dari rektor kampus, sebelum pengumuman resmi diterbitkan.
Beasiswa itu menanggung semua biaya: kuliah, akomodasi, kebutuhan sehari-hari, hingga penelitian. “Saya sampai bingung, kok malah dapat beasiswanya duluan, bukan pengumuman diterima kuliahnya,” kenang Atha sambil tertawa kecil.
Perjalanan akademik Atha memang penuh warna. Ia dikenal aktif dalam dunia debat, baik Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris. Ia kerap meraih juara dalam ajang Dies Natalis Undiksha, menjadi delegasi di National University Debating Championship, bahkan sempat menjadi pelatih debat di sejumlah sekolah ternama di Bali.
Tak hanya itu, ia juga aktif di pageant kampus. Gelar Regem Regina dan Putri Undiksha pernah ia sandang, menambah panjang daftar pencapaiannya di usia muda.
Namun, semua keberhasilan itu tidak datang tanpa perjuangan. Atha harus membiayai kebutuhan hidupnya sendiri, sekaligus membantu sang ibu dan adik, dengan bekerja sebagai guru les privat dan penerjemah lepas.
Di balik kabar bahagia diterima di kampus impian, Atha harus menelan pil pahit: ayahnya meninggal dunia sebelum sempat menyaksikan pencapaian besar tersebut. “Kepergian ayah justru jadi motivasi saya untuk melangkah lebih jauh. Saya yakin beliau bangga, meski berada di dunia yang berbeda,” ucapnya lirih.
Kini, Atha bersiap menjalani babak baru sebagai mahasiswa Master of TESOL (Teaching English to Speakers of Other Languages) di University of Edinburgh, Skotlandia. Ia berencana tetap mengajar secara daring dan mengambil kerja part-time selama studi.
Cita-citanya tidak berhenti di sana. Sepulang dari Inggris, ia bertekad mendirikan sekolah atau pusat belajar di Buleleng bagi anak-anak dari keluarga sederhana seperti dirinya.
“Kalau saya bisa, anak-anak lain juga pasti bisa. Saya ingin jadi bukti nyata bahwa pendidikan bisa mengubah segalanya,” harapnya. (TB)