Di tengah kehidupan masyarakat Hindu Bali yang sarat dengan ritual, terdapat satu hari suci yang dikenal sebagai Anggar Kasih. Rahinan ini memiliki makna mendalam, yakni membersihkan batin sekaligus menumbuhkan kasih sayang universal.
Tidak hanya ritual persembahan, Anggar Kasih juga menjadi ruang refleksi bagi umat Hindu untuk kembali pada keseimbangan diri, sesama manusia, dan alam semesta.
Secara etimologi, kata “Anggara” berasal dari Saptawara atau hitungan hari dalam kalender Bali yang berarti hari Selasa. Sementara “Kasih” bermakna cinta kasih, kedamaian, atau welas asih.
Jika digabung, Anggar Kasih dapat diartikan sebagai “Selasa Kasih”, yakni hari Selasa yang diyakini sebagai momentum untuk menyucikan pikiran, ucapan, dan perbuatan melalui kasih sayang.
Dalam lontar-lontar suci, Anggar Kasih disebut sebagai hari pemujaan kepada manifestasi Ida Sang Hyang Widhi, salah satunya Sang Hyang Ludra, yang dipercaya mampu melebur kekotoran batin. Karena itu, Anggar Kasih bukan sekadar ritual lahiriah, tetapi juga perenungan untuk membersihkan diri dari emosi negatif seperti amarah, iri hati, dan keserakahan.
Rahinan Anggar Kasih diperingati setiap 210 hari sekali atau enam bulan Bali, selalu jatuh pada hari Selasa Kliwon dalam siklus pawukon. Menariknya, Anggar Kasih tidak hanya satu jenis, melainkan hadir dalam beberapa wuku berbeda, antara lain:
Anggar Kasih Kulantir
Anggar Kasih Medangsia
Anggar Kasih Dukut
Anggar Kasih Prangbakat
Anggar Kasih Julungwangi
Anggar Kasih Tambir
Masing-masing jenis memiliki penekanan yang berbeda, namun esensinya tetap sama: memperkuat kasih sayang dan membersihkan diri.
Misalnya, Anggar Kasih Medangsia lebih menitikberatkan pada penyucian batin dengan sarana wangi-wangian, sementara Anggar Kasih Dukut dikenal sebagai waktu memuja Sang Hyang Ludra untuk mengendalikan pikiran.
Sebagaimana rahinan suci lainnya, Anggar Kasih diiringi dengan banten atau sesajen yang memiliki simbol khusus. Di antaranya:
Canang sari lengkap dengan bunga harum.
Dupa atau astanggi sebagai lambang pengharum pikiran.
Wewangian alami seperti bunga cempaka atau kenanga.
Segehan kuning sapangkon sebagai sarana penyeimbang energi.
Daging ayam putih-kuning betutu pada Anggar Kasih Kulantir, yang melambangkan kesucian.
Buah-buahan sebagai simbol kesuburan dan rasa syukur.
Selain itu, penggunaan tirta atau air suci juga penting. Tirta dipercikkan untuk membersihkan jasmani sekaligus batin, mengingatkan umat agar selalu menjaga kesucian diri dalam keseharian.
Ritual Anggar Kasih umumnya dilaksanakan di sanggah, merajan, pura keluarga, hingga pura desa. Umat Hindu mengenakan pakaian adat serba putih, dengan aksen selendang kuning sebagai lambang kesucian dan pembersihan diri.
Rangkaian upacara dimulai dengan pemasangan banten, pemanjatan doa, pembakaran dupa, dan pemercikan tirta. Pada saat doa, umat diminta untuk merenungi perjalanan hidupnya, memohon ampun atas kekhilafan, sekaligus menguatkan tekad untuk hidup lebih harmonis.
Di beberapa desa, Anggar Kasih juga dijalankan secara komunal. Masyarakat berkumpul di pura desa adat, mempersembahkan banten bersama, dan melakukan ritual penyucian. Hal ini memperkuat nilai kebersamaan sekaligus meneguhkan solidaritas sosial antarwarga.
Lebih dari sekadar upacara, Anggar Kasih mengajarkan nilai universal yang relevan dengan kehidupan modern. Kasih sayang tidak hanya ditujukan kepada keluarga dan sesama umat, melainkan juga kepada alam semesta. Dengan semangat kasih, manusia diajak menjaga keseimbangan lingkungan, tidak serakah, dan menghargai kehidupan.
Anggar Kasih juga menjadi ruang refleksi bahwa kebersihan batin sama pentingnya dengan kebersihan lahiriah. Lewat ritual ini, umat diingatkan bahwa pikiran positif, ucapan baik, dan tindakan benar adalah jalan menuju kedamaian sejati. (TB)
Ilustrasi: pixabay.com