Karya seni instalasi “Pandora Paradise” ciptaan I Ketut Putrayasa kembali menjadi bahan renungan mendalam tentang wajah Bali masa kini. Melalui karya yang pernah dipamerkan di Titik Nol Kilometer Kota Denpasar pada akhir 2020, Putrayasa menghadirkan refleksi kritis atas paradoks Pulau Dewata — antara citra surga tropis dan realitas krisis yang kian mencemaskan.
Terinspirasi dari mitologi Yunani tentang Pandora, karya ini menafsirkan ulang kisah perempuan yang membuka guci berisi berbagai malapetaka dunia. Dalam tangan Putrayasa, Pandora justru dihadirkan melalui instalasi berjudul Pandora Paradise — kotak akrilik transparan berisi bambu-bambu sintetis warna-warni yang menembus dinding kotak, seolah menandakan paradoks antara keindahan dan ancaman.
Putrayasa, seniman asal Tibubeneng, Kuta Utara, kelahiran 1981, dikenal lewat karya-karya patung dan instalasinya yang bernuansa satir dan reflektif. Beberapa karyanya antara lain The Giant Octopus (2019), The Golden Toilet in Winter (2022), hingga The Octopus Queen (2025). Pamerannya telah melanglang ke berbagai negara, dari Singapura hingga Belgia dan Turki.
Menurut esais dan penyair Wayan Jengki Sunarta, “Pandora Paradise” tak sekadar karya rupa, melainkan doa visual tentang Bali yang terjebak dalam pusaran modernitas. Ia menilai, karya ini menjadi metafora kuat tentang bagaimana Bali membuka “kotak surga”-nya sendiri — menjual keindahan dan budaya kepada dunia, namun sekaligus menanggung petaka ekologis dan sosial di balik gemerlap pariwisata.
“Bali memang telah membuka kotak paradise-nya. Turis berdatangan, investor berlomba mencaplok tanah, dan industri pariwisata tumbuh tanpa kendali. Di balik cahaya festival dan promosi wisata, ada bayangan panjang, Bali yang kehilangan tanah, air, dan jati dirinya,” paparnya.
Karya tersebut menampilkan lapisan simbolis yang tajam. Bambu-bambu runcing dalam kotak transparan menggambarkan kemajuan yang menembus tradisi. Warna-warna psikedeliknya menyerupai pesta cahaya di Bali, namun juga mengandung makna paradoks: keindahan yang memabukkan dan ancaman yang tersembunyi.
Dalam tafsir Jengki, Pandora Paradise mengajak publik menengok sisi lain Bali yang kian artifisial. “Dunia kini terlalu terang,” tulisnya, “hingga tak ada lagi ruang gelap untuk merenung. Bali yang dulu hidup di antara sekala dan niskala kini lebih percaya pada apa yang bisa difoto atau divideokan.”
Putrayasa bahkan menempatkan tiga batang bambu berwarna hitam, putih, dan kuning di tengah kotak, simbol perjalanan manusia dari kegelapan menuju pengetahuan dan kebijaksanaan. Ketiganya menjadi penanda bahwa di tengah hiruk-pikuk modernitas, masih ada harapan untuk menahan diri dan kembali mencari keseimbangan.
Menariknya, karya ini dipamerkan di Titik Nol Kilometer Denpasar, lokasi yang juga menjadi pusat simbolik pemerintahan Bali. Tak jauh dari situ berdiri patung Catur Muka dan Gedung Jayasabha, rumah dinas Gubernur Bali. Posisi tersebut menambah bobot pesan satirnya: bahwa refleksi ini bukan hanya untuk publik, tetapi juga bagi para pengambil kebijakan yang menentukan arah pembangunan Bali.
“Angka nol bukan ketiadaan, tapi awal dari segala kemungkinan,” tulis Jengki. “Mungkin Bali perlu kembali ke titik nolnya, menata ulang relasi antara manusia, alam, dan spiritualitas. Bukan dengan menolak kemajuan, tetapi menempatkannya dalam keseimbangan.”
Seperti kisah Pandora yang masih menyimpan harapan di dasar gucinya, Bali juga diyakini masih memiliki peluang untuk memulihkan harmoni yang retak. Harapan agar masyarakatnya kembali merawat spiritualitas, menghormati alam, dan menjadikan seni sebagai ruang refleksi, bukan sekadar tontonan turistik.
“Surga sejati bukanlah tempat tanpa luka,” tulis Jengki menutup esainya. “Melainkan tempat di mana luka-luka itu disadari, dirawat, dan disembuhkan. Pandora Paradise adalah doa dalam rupa, ajakan agar kita tak hanya melihat Bali, tetapi juga mendengarkannya, sebelum surga itu benar-benar lenyap.” (TB)
