Desa Sesandan atau Desa Sandan, yang terletak di Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Bali, memiliki sejarah panjang yang diwariskan secara turun-temurun. Penelusuran sejarah desa ini didasarkan pada cerita lisan dari para sesepuh, mengingat tidak banyak catatan tertulis yang tersedia.
Tradisi lisan ini menjadi sumber utama untuk memahami perjalanan Desa Sesandan hingga kini. Ungkapan “Belajar Dari Sejarah” menjadi pedoman masyarakat dalam menghargai warisan leluhur dan meneladani tokoh-tokoh pendahulu mereka.
Nama Sesandan berasal dari sosok Ni Gusti Ayu Sandan, istri I Gusti Dauh, seorang ksatria Puri Tabanan yang tinggal di Jero Subamia. Nama ini mengandung makna kepahlawanan dan jiwa ksatria yang diharapkan dapat diwarisi oleh masyarakat desa.
I Gusti Dauh dan istrinya memulai pembangunan desa dengan merabas hutan dan membuka lahan pertanian untuk mendukung kehidupan mereka dan para pengikutnya. Nama Sesandan kemudian diabadikan sebagai nama desa untuk menghormati perjuangan mereka.
Sejarah mencatat bahwa Desa Sesandan memiliki hubungan erat dengan Desa Wanasari, karena dulunya Sesandan merupakan bagian dari desa induk tersebut. Pemekaran desa ini terjadi seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi geografis. Meski asal-usul nama desa tidak dapat dipastikan secara rinci, kisah-kisah yang berkembang di masyarakat menjadi dasar pembentukan identitas Desa Sesandan.
Pada masa Kerajaan Tabanan, yang berdiri sejak tahun Isaka 1254, I Gusti Dauh dan Ni Gusti Ayu Sandan mendapat perintah dari Raja Tabanan untuk menjaga perbatasan utara wilayah kerajaan. Mereka bersama para prajuritnya menetap di wilayah yang kini dikenal sebagai Desa Sesandan.
Setelah memenangkan peperangan melawan Raja Ubung Penebel, mereka kembali membuka lahan baru untuk pemukiman dan persawahan, yang kemudian berkembang menjadi Desa Adat Sesandan. Perkembangan desa semakin pesat dengan kedatangan penduduk dari berbagai golongan seperti Brahmana, Waisya, dan Sudra, yang berasal dari wilayah lain di Bali, seperti Sanur, Munggu, Kamasan, Gianyar, dan Karangasem. Komunitas yang beragam ini kemudian membangun berbagai fasilitas keagamaan, termasuk Khayangan Dalem, Pura Puseh, dan Pura Desa.
Pendatang lainnya juga turut memperkaya keberagaman desa, termasuk rombongan yang dipimpin oleh Mekel Sekar dari Luwus Baturiti. Mereka menetap di bagian timur laut desa dan membuka lahan pertanian, yang kemudian membentuk Banjar Sekartaji. Demikian pula wilayah Sandan Dauh Yeh berkembang menjadi beberapa banjar, seperti Sandan Pondok, Sandan Lebah, dan Sandan Tegeh.
Desa Sesandan secara resmi ditetapkan sebagai desa definitif melalui Keputusan Bupati Tabanan Nomor 85 Tahun 2007. Sebelumnya, pada tahun 2006, desa ini sudah menjadi desa persiapan dengan cakupan tujuh banjar dinas dan tiga desa adat, yaitu Desa Adat Sesandan, Desa Adat Sandan Pondok, dan Desa Adat Sekartaji. Kini, Desa Sesandan terus berkembang dengan tetap mempertahankan tradisi dan nilai-nilai leluhur yang menjadi warisan penting bagi generasi mendatang. (TB)