![]() |
Perbatasan Desa Aan |
Desa Aan merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Desa ini memiliki batas wilayah administratif sebagai berikut: di utara berbatasan dengan Desa Timuhun, di timur dengan Tukad Jinah, di selatan dengan Desa Tihingan, dan di barat dengan Desa Getakan.
Sejarah Desa Aan bermula pada abad ke-16, setelah tiga generasi pemerintahan Raja Gelgel berlangsung. Saat itu, Jero Pasek Gelgel bersama beberapa pengikutnya meminta izin kepada Dalem untuk mencari tempat tinggal baru.
Setelah melakukan penjelajahan di Bukit Buluh, mereka menemukan sebuah hutan di barat laut yang memiliki dua pohon beringin kembar. Tempat itu kemudian menjadi tujuan mereka untuk membuka lahan dan membangun permukiman.
Pada bulan Srawana, Icaka 1502 (sekitar Juli 1580 Masehi), rombongan ini bergerak ke arah barat laut melalui jalan Akah-Manduang hingga tiba di Yeh Bulan. Di lokasi tersebut, mereka mendirikan tempat tinggal sementara untuk memulai perabasan hutan yang dipenuhi pohon “Ea.”
Proses ini menghadapi berbagai rintangan, sehingga Jero Pasek memohon wahyu di puncak bukit di utara hutan. Setelah menerima wahyu, ia mendirikan tempat pemujaan bernama Pura Pengukuran, yang masih digunakan hingga saat ini.
Perabasan berlanjut ke arah selatan, dan untuk menjaga keselamatan, mereka mendirikan beberapa tempat suci, seperti Pura Swela, yang hingga kini diperingati setiap Sabtu Wuku Landep (Tumpek Landep). Rombongan juga mendirikan Pelinggih Dalem Rajapati di lokasi tempat para pekerja yang meninggal dikuburkan, yang diberi nama Subangan. Selain itu, dibangun pula Pelinggih Sila Majemuh dan Puseh Swata untuk perlindungan spiritual.
Saat proses perabasan hutan berlangsung, Jero Pasek bertemu dengan I Gusti Kacang Dawa, yang bersama pengikutnya telah mendirikan pondok di Banjar Ambengan. Kedua pihak saling berbagi cerita dan tujuan, tetapi mereka dihadapkan pada tantangan besar berupa keberadaan makhluk menyeramkan bernama Raksasa Bangkongan, yang dikisahkan tinggal di sebuah goa besar di utara bukit dan memakan manusia.
Setelah beberapa waktu, hubungan antara Jero Pasek dan I Gusti Kacang Dawa memburuk, sehingga mereka memutuskan untuk berpisah. Jero Pasek dan pengikutnya kemudian melanjutkan pembangunan desa. Setelah pohon-pohon “Ea” selesai dirabas, mereka memindahkan pondok-pondok ke utara pohon beringin kembar dan mulai mendirikan rumah-rumah permanen.
Wilayah desa kemudian dibagi menjadi tiga banjar, yaitu:
1. Banjar Kelodan (kini disebut Banjar Peken)
2. Banjar Tengah (kini disebut Banjar Pasek)
3. Banjar Kaleran (kini disebut Banjar Carik Dalem/Swelagiri)
Desa adat juga dibagi menjadi dua, yakni Adat Banjar Patus dan Adat Banjar Pura. Dalam waktu singkat, desa ini berkembang dengan pembangunan sektor pertanian, seperti bendungan dan sistem pengairan yang teratur. Lahan bekas pondok perabasan kini dijadikan persawahan subur.
Setelah seluruh wilayah hutan “Ea” selesai diolah, desa ini secara resmi diberi nama Desa Aan pada tahun Icaka 1520. Hingga kini, Desa Aan tetap menjadi bagian penting dari sejarah dan budaya Bali, dengan peninggalan spiritual dan adat yang masih dilestarikan oleh masyarakatnya. (TB)