Sejarah Desa Landih Bangli, Bermula Dari Hutan Angker yang Mengeluarkan Api

Author:
Share
Facebook Desa Landih

Desa Landih terletak di Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Desa ini resmi berdiri pada tahun 2008 sebagai hasil pemekaran dari Desa Pengotan. Dengan wilayah yang strategis, desa ini berbatasan dengan Kecamatan Kintamani di utara dan timur, Kecamatan Tembuku di selatan, serta Desa Pengotan dan Kayubihi di barat.

Berdasarkan data tahun 2016, Desa Landih dihuni oleh 1.977 laki-laki dan 1.957 perempuan, dengan rasio jenis kelamin sebesar 101. Desa ini terdiri dari lima banjar, yaitu Buayang, Landih, Langkan, Palaktiying, dan Penaga.

Dilansir dari website Desa Landih, pada masa lalu, wilayah Desa Landih merupakan hutan lebat yang dikenal dengan nama Alas Mengendih. Hutan ini dianggap angker dan belum berpenghuni. Raja Bangli, melihat potensi wilayah ini, memutuskan untuk mengirim tujuh orang rakyatnya untuk menetap dan menjaga hutan tersebut. 

Saat tiba di hutan, mereka melihat fenomena aneh berupa kobaran api yang muncul tiba-tiba. Ketika didekati, api tersebut lenyap begitu saja. Di lokasi itu, mereka berdoa dan menancapkan sebuah pohon dapdap sebagai simbol perlindungan. 

Lokasi ini kemudian dikenal sebagai Pura Ulun Suwi. Nama “Landih” pun diyakini berasal dari istilah “Laddih,” yang berarti bekas kobaran api, dan digunakan untuk menyebut kawasan tersebut hingga kini.

Seiring waktu, wilayah ini berkembang menjadi perkampungan. Namun, kedamaian di Landih terganggu oleh serangan pasukan Belanda. Penduduk setempat mencoba melawan dengan menggunakan taktik unik, yaitu menciptakan baling-baling kayu yang mengeluarkan suara bising untuk mengintimidasi pasukan musuh. 

Sayangnya, perlawanan tersebut gagal, dan banyak penduduk yang melarikan diri atau tewas. Perkampungan pun sempat menjadi kosong.

Setelah situasi mereda, Raja Bangli kembali mengutus masyarakat untuk menempati Alas Mengendih. Kali ini, orang-orang dari Tiyingadi dan Desa Pemutran di Karangasem ditugaskan untuk menjaga kawasan tersebut. 

Mereka kembali menghadapi fenomena kobaran api misterius di tengah hutan, yang kemudian dianggap sebagai pertanda suci. Sebuah tempat sembahyang sederhana dibangun di lokasi tersebut, yang kini dikenal sebagai Pura Puseh Pekarangan.

Desa Landih juga sempat mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Raja Panji Sakti yang melintasi kawasan tersebut dalam perjalanan untuk menyerang Klungkung. Penduduk desa berlarian menyelamatkan diri, dan beberapa bahkan membawa benda-benda suci seperti prasasti ke tempat lain, seperti Penida dan Nongan.

Setelah serangkaian konflik, Raja Sri Aji Jaya Pangus memimpin upaya untuk menyusun kembali desa yang telah hancur. Beliau membangun fasilitas penting, termasuk Pura Puseh Bale Agung, Pura Dalem, dan Setra (kuburan), yang hingga kini menjadi bagian dari warisan budaya dan spiritual Desa Landih.

Hingga kini, Desa Landih tetap menjaga kekayaan sejarah dan budayanya. Benda-benda bersejarah seperti sarkofagus masih dapat ditemukan di Pura Puseh Pekarangan, sementara gamelan kuno yang sempat ditanam di sekitar pura menjadi saksi bisu perjalanan panjang desa ini. 

Desa Landih tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga pusat kehidupan spiritual dan budaya bagi masyarakat setempat. (TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!