Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud, AAGN Ari Dwipayana, menyampaikan keprihatinan mendalam atas bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah di Bali pada 9–10 September 2025. Dalam pernyataannya pada Kamis, 11 September 2025, ia mengungkapkan duka cita kepada keluarga korban meninggal dan solidaritas bagi keluarga korban yang masih belum ditemukan.
Menurut Ari Dwipayana, saat ini langkah paling mendesak bagi Gubernur Bali serta bupati dan wali kota di daerah terdampak adalah menjalankan aksi tanggap darurat secara menyeluruh. “Yang harus diprioritaskan adalah suplai logistik untuk rumah tangga terdampak, evakuasi warga yang rumahnya masih terendam, menemukan korban yang hanyut, serta menjamin keselamatan warga jika terjadi banjir susulan,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya pemulihan sosial-ekonomi di tahap berikutnya. Rehabilitasi pasar tradisional, perbaikan rumah dan tempat usaha, hingga pemulihan infrastruktur publik yang rusak dinilai menjadi agenda penting pasca-banjir.
Ari menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh hanya menyalahkan curah hujan sebagai penyebab bencana. Ia mendorong langkah konkret mitigasi bencana agar peristiwa serupa tidak berulang. “Saatnya Gubernur dan Bupati-Wali Kota se-Bali mulat sarira. Evaluasi tata ruang, kebijakan perizinan di area resapan air, serta pengelolaan daerah aliran sungai mutlak dilakukan. Jangan biarkan kerusakan ekologis makin masif,” ujarnya.
Ia mengingatkan agar konsep Nangun Sad Kerti Loka Bali tidak berhenti sebagai slogan, melainkan diwujudkan melalui tindakan nyata.
Dalam pernyataannya, Ari juga mengajak masyarakat Bali untuk melakukan gerakan tandur toya atau menanam air. Gerakan ini dilakukan dengan memperluas area resapan air, menjaga hutan, gunung, dan danau sebagai bendungan alami.
“Sad Kertih, khususnya Wana Kertih, Giri Kertih, dan Ranu Kertih harus diwujudkan bukan hanya dalam ritual, tapi aksi nyata menjaga hutan dan danau dari sedimentasi serta pencemaran,” jelasnya.
Ari menutup pernyataannya dengan seruan untuk menghidupkan kembali tradisi Nyapuh Tirah Tukad, yakni menjaga sungai sebagai sumber kehidupan dan warisan budaya. Menurutnya, sungai harus dilindungi dari sampah, limbah, serta alih fungsi lahan yang merusak ekosistem.
“Banyak teks sastra Hindu Bali mengingatkan kita agar memuliakan sungai. Sungai bukan hanya aliran air, tapi juga rumah bagi sarwa prani dan roh penjaga sungai. Jangan biarkan sungai berubah menjadi tempat sampah raksasa,” pungkasnya. (TB)
