![]() |
Ilustrasi |
Ini
adalah sejarah kelam bangsa Indonesia juga termasuk Bali. Ratusan ribu, bahkan
jutaan orang di Indonesia dibunuh, termasuk di Bali. Bahkan kejadian di Bali
dianggap paling parah. Satu desa di Bali ini pun dijuluki sebagai desa janda. Berikut
pembahasannya.
Peristiwa
Gerakan 30 September 1965, atau dikenal G30S menyebabkan krisis politik di
seluruh Indonesia. Kejadian ini menyebabkan aksi pembantaian besar-besaran,
bahkan korbannya tak hanya kader Partai Komunis Indonesia (PKI) saja, tapi
mereka yang dianggap berseberangan atau membahayakan kelompok-kelompok
tertentu.
Dilansir
dari Merdeka.com, dari seluruh daerah di Indonesia, Bali merupakan lokasi
yang paling parah dan paling banyak memakan korban saat operasi penumpasan G30S.
Tidak kurang dari 100 ribu orang tewas dibunuh.
Hal
tersebut diungkapkan oleh penulis buku ‘Nasib Para Soekarnois’ Aju kepada merdeka.com.
Menurutnya, jumlah yang dibunuh di Bali itu sangat besar, mencapai 5 persen
dari populasi. Lebih dari 100 ribu orang tewas dibantai. Tragedi berdarah ini
berlangsung selama setahun, yakni tahun 1965 sampai 1966.
Selain
itu, seorang aktivis bernama Soe Hok Gie melalui esainya yang dibukukan dengan
judul Zaman Peralihan juga memberi gambaran tentang Bali yang mencekam saat
pembantaian anggota PKI.
Soe
Hok Gie menuliskan: Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian. Jika di antara
pembaca ada yang mempunyai teman orang Bali, tanyakanlah apakah dia mempunyai
teman yang menjadi korban pertumpahan darah itu. Ia pasti akan mengiyakan,
karena memang demikianlah keadaan di Bali. Tidak seorang pun yang tinggal di
Bali pada waktu itu yang tidak mempunyai tetangga yang dibunuh atau tidak
dikuburkan oleh setan hitam berbaret merah yang berkeliaran di mana-mana pada
waktu itu.
Kabupaten
Jembrana Bali, juga tak luput dari peristiwa pembantaian ini. Selain Tegalbadeng,
Jembrana, sebagai pemicu awal pembantaian, satu daerah lain yang menarik adalah
Desa Merta Sari di daerah Loloan.
Dilansir
dari Riauonline.co.id, Desa Mertasari ini adalah Desa Hindu yang berada di
tengah kampung muslim Loloan Barat dan Timur yang dibelah oleh Sungai
Ijogading. Saat 1965, Desa Merta Sari adalah basis dari anggota PKI, khususnya
Barisan Tani Indonesia (BTI).
Saat
terjadi pembantaian, desa-desa sekitarnya yaitu Loloan Barat dan Loloan Timur,
dikomandani oleh Tameng PNI didukung satuan Pemuda Ansor melakukan pembantaian
terhadap laki-laki yang berasal dari Desa Merta Sari.
Semua
laki-laki habis dibunuh dan di Desa Merta Sari akhirnya hanya tersisa kaum
perempuan saja. Desa Merta Sari kemudian dijuluki Desa Janda.
Kuburan
massal adalah hal lain yang menarik ditemui di setiap jengkal tanah di
Jembrana. Selain Tegalbadeng, Toko Wong dan tempat pembantaian serta kuburan
massal, menurut laporan sejumlah penulis, ada dua tempat yang menarik.
Pertama
adalah sebuah sumur yang kemudian dinamakan Lubang Buaya di Desa Melaya. Sumur
ini saat pembantaian PKI adalah tempat pembuangan mayat-mayat yang kemudian
ditanami bambu-bambu. Masyarakat Melaya yang tahu akhirnya percaya bahwa sumur
ini angker.
Kedua
adalah sebuah pantai yang apabila masuk di jalan tanah terdapat papan nama
bertulis Tempat Wisata Pantai Candikesuma. Di depan pantai terdapat dua bukit
tinggi yang di atasnya berdiri pura.
Di
atas bukit itulah dulu para anggota dan simpatisan PKI dijejer dan ditembak
sehingga jatuh ke pantai dan mayatnya langsung hanyut ditelan ombak.
Sebagian
besar penduduk di Kabupaten Jembrana yang telah berusia 60 tahun ke atas sangat
tahu dan mengerti peristiwa pembantaian di Jembrana tahun 1965. Namun menurut
sejumlah penulis, baik dari dalam maupun luar negeri, mereka memilih menutup
mulut rapat-rapat, karena masih trauma.
Sementara
itu, dilansir dari Suarabali.id, sejumlah anggota PKI yang dinyatakan hilang
setelah dijemput aparat keamanan di antaranya I Nyoman Puger (Denpasar), Tiaga
(Denpasar), Sutaja, Ketut Kandi (Klungkung), Anom Dade (Denpasar).
Tidak
kurang dari 27 orang sarjana yang menjadi pengurus inti PKI atau organisasi
sayap kiri PKI di tingkat propinsi dan kabupaten di Bali sudah tidak diketahui
lagi nasibnya setelah dijemput aparat keamanan dan milisi.
Pada
saat itu ada yang dinamakan Komandan Anti G30S PKI. Siapa saja yang dilaporkan
ke komando ini, maka terlapor akan hilang dan dibunuh. Memang banjar
dilibatkan, karena ketua Koordinasi Kesatuan Aksi Pengganyangan (KOKAP) adalah
kelian (pemimpin/ketua/kepala) Banjar. Jadi Kelian banjar otomatis bertindak
sebagai penanggungjawab algojo.
Hanya
Gereja Katolik di Bali yang mengambil inisiatif memberikan perlindungan bagi
PKI. Pimpinan Gereja Katolik di tingkat paroki se-keuskupan Denpasar,
menyediakan ruangan khusus bagi pengungsi yang dikategorikan PKI, karena ada
instruksi dari Kardinal Justinus Darmowujono dari Jakarta. (TB)