![]() |
Istimewa |
Kabar duka kembali menyelimuti dunia seni tradisi Bali.
Salah seorang maestro kenamaan Bali berpulang pada Kamis, 22 September 2022.
Beliau adalah Anak Agung Gde Raka Payadnya dari Puri Abianbase Gianyar Bali.
Selain sebagai pelaku drama gong, ia juga aktif di kegiatan kepramukaan.
“Ka.Kwarda Bali dan Segenap Jajaran Menyampaikan Turut Berduka Cita Atas Berpulangnya Anak Agung Gde Raka Payadnya, Ls Anggota Dewan Kehormatan Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Gianyar,” tulis akun Facebook Pramuka Kwarda Bali.
Dari informasi yang dihimpun, seniman drama gong meninggal karena faktor usia dan sakit.
Jumat, 23 September 2022 acara nyiramin layon digelar pukul 16.00 dan selanjutny menuju Setra Desa Adat Abian Base utk acara mekingsan ring gni.
Siapakah sosok beliau?
Dilansir dari berbagai sumber Anak Agung Gde Raka Payadnya merupakan pencipta Drama Gong.
Anak Agung Gede Raka Payadnya berasal dari Puri Abianbase Gianyar Bali.
Ia lahir pada 14 Agustus 1944 dan merupakan sosok seniman low profile.
Dalam drama gong, ia akrab dengan peran raja muda di panggung pentas pada tahun 1970-an.
Ia merupakan pencipta drama gong pada pada tanggal 24 Februari 1966 di Abianbase Gianyar.
Ketika itu, Anak Agung Gde Raka Payadnya tergabung dalam sekha Wijaya Kesuma.
Dirinya bersama seniman lain, seperti Nyoman Sunarta dan I Wayan Sumerta diminta untuk pentas di pelataran Pura Desa Abianbase.
Mereka membawakan lakon Jaya Prana di pelataran Pura Desa Abian Base.
Dirinya tidak menduga itulah yang menjadi awal lahirnya drama gong.
Saat itu pementasan tersebut diberinama drama klasik.
Dalam awal perkembangannya selama kurang lebih 3 – 4 bulan telah berhasil menarik perhatian para seniman, budayawan khususnya dari lingkungan KOKAR (Konservatori Karawitan) Bali, Denpasar.
Kemudian istilah drama gong diberikan kemudian oleh Ketua Kokar waktu itu, IGN Pandji.
Saat itu IGN Pandji menyaksikan kelompok Wijaya Kusuma pimpinan Payadnya berpentas di suatu tempat.
Diberinama drama gong karena menggunakan gong sebagai iringannya.
Dari bumi kelahirannya sekha Drama Gong Abianbase tumbuh dan berkembang secara menakjubkan ke seluruh pelosok desa di Bali.
Hingga dalam waktu relatif singkat saja di seluruh daerah Propinsi Bali telah tumbuh kurang lebih tiga puluh sekha Drama Gong.
Hampir setiap banjar mempunyai sekha drama dengan perlengkapan pementasannya yaitu sebuah rangki, krobong tradisionil serta seperangkat orkes pengiring gong.
Akhirnya, oleh Lembaga Kesenian Nasional diselenggarakanlah festival drama gong tahun 1968.
Kelompok Wijaya Kusuma tampil sebagai pemenang utama.
Namun kelompok Wijaya Kusuma bubar tahun 1975.
Diakui oleh penciptanya bahwa Drama Gong yang diciptakan dengan memadukan unsur-unsur drama tari tradisional Bali seperti Sendratari, Arja, Prembon dan Sandiwara dimaksudkan sebagai sebuah prembon (seni campuran) modern.
Saat menciptakan drama gong, Payadnya sesungguhnya berkiblat sepenuhnya kepada bentuk-bentuk kesenian “modern” yang sudah masuk ke Bali sebelum peristiwa berdarah itu.
Kebetulan ia pernah menonton tonil dan film.
Sehingga drama yang dibuat itu 80 persen menggunakan bahasa Indonesia, sisanya baru bahasa Bali.
Adegan pun sudah diatur seperti dalam film, bahkan kami sudah menulis naskah.
Anak Agung Gde Raka Payadnya memiliki istri bernama Anak Agung Rai Candra.
Pernah menjadi anggota DPRD Gianyar periode 1992-1997.
Dirinya juga merupakan lulusan dari Kokar Denpasar.
Ia pun dianugerahi penghargaan Dharma Kusuma 2004 oleh Pemda Provinsi Bali.
Penghargaan ini diberikan atas sumbangsih dan perjuangannya pada kesenian terutama seni drama gong yang selama ini digelutinya dengan kelompok Sekaa Drama Gong Wijaya Kusuma Abianbase Gianyar.
Selain itu selain tamat Kokar pada tahun 1965 juga sempat kuliah di Fakultas Teknik Jurusan Seni Rupa Unud. (TB)