Sehari setelah Hari Raya Saraswati, umat Hindu Bali melaksanakan upacara suci bernama Banyu Pinaruh, yang secara harfiah berarti “air pengetahuan”. Tradisi ini memiliki makna mendalam dan tetap dijaga kelestariannya hingga kini.
Banyu Pinaruh adalah upacara yadnya yang diselenggarakan sehari setelah Hari Saraswati, tepatnya pada Redite Paing Wuku Sinta. Ritual ini bertujuan untuk pembersihan dan kesucian diri melalui melukat (ritual mandi) di laut, sungai, atau sumber air suci, sekaligus penyucian pikiran melalui penerapan ilmu pengetahuan.
Upacara ini memiliki akar filosofis yang kuat. “Banyu” berarti air sebagai sumber kehidupan, sementara “pinaruh” berasal dari kata untuk pengetahuan. Dengan demikian, Banyu Pinaruh melambangkan harapan agar ilmu pengetahuan menjadi alat pembersih dari kegelapan dan kekotoran pemahaman.
Umat Hindu biasanya melakukan ritual pagi hari dengan mandi di laut, sungai, atau air terjun. Proses ini disebut melukat, yang dipercaya dapat membuang segala energi negatif secara lahir dan batin. Ritual ditutup dengan membasuh rambut dengan air yang sudah diberi bunga (air kumkuman) dan melanjutkan sembahyang di tempat suci atau rumah.
Sebagaimana dikutip dari Desa Adat Guliang Kangin, upacara ini tidak sekadar tentang ritual fisik, tetapi juga menyentuh aspek spiritual dan moral:
“Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa disucikan dengan pelajaran suci…”
Hal ini sejalan dengan pandangan klasik Hindu seperti Bhagavad Gita dan Manawa Dharmasastra yang menyebut ilmu pengetahuan sebagai jalan menyucikan diri dari dosa dan kebodohan.
Banyu Pinaruh bukan sekadar ritual pembersihan, tetapi simbol perjalanan manusia: dari menerima ilmu (Saraswati) menuju kebersihan batin dan kedewasaan spiritual (Pinaruh). Air dijadikan media spiritual dan pengetahuan sebagai solusi untuk menyucikan diri. (TB)
