Hari Raya Saraswati, yang jatuh setiap 210 hari sekali tepat pada Saniscara Umanis Wuku Watugunung, menjadi salah satu perayaan penting bagi umat Hindu di Bali. Tahun ini, umat Hindu kembali merayakannya pada Sabtu, 20 Mei 2023 dengan penuh khidmat.
Hari Saraswati diyakini sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan, sekaligus wujud penghormatan kepada Dewi Saraswati, sang dewi pengetahuan, seni, dan kebijaksanaan.
Tradisi perayaan Saraswati telah diatur dalam Lontar Sundarigama, sebuah naskah suci yang menjadi pedoman umat Hindu Bali dalam melaksanakan upacara berdasarkan hitungan sasih (bulan) dan wuku (mingguan Bali).
Menurut Putu Eka Guna Yasa, dosen Universitas Udayana, lontar ini menegaskan bahwa pemujaan Saraswati dilakukan dengan berbagai upakara (persembahan) seperti: Sesayut Saraswati, Banten Saraswati, Buah-buahan, Kembang (bunga) berwarna putih dan kuning, Puspa wangi (bunga harum), Prangkatan putih kuning.
Selain itu, kitab suci, lontar, serta sarana menulis seperti kertas dan alat tulis juga dipuja sebagai simbol sumber ilmu pengetahuan.
Hari Saraswati bukan hanya tentang menghaturkan banten, tetapi juga memuliakan pengetahuan. Pada hari ini umat Hindu disarankan untuk tidak menulis, membaca, atau menyanyikan kidung, karena saat itu pengetahuan dianggap sedang “disucikan”.
Sebaliknya, umat dianjurkan melakukan yoga dan samadhi dengan memusatkan bayu (tenaga), sabda (ucapan), dan idep (pikiran). Dengan begitu, hakikat ilmu pengetahuan dapat dipahami secara lebih mendalam, bukan hanya sebagai hafalan, tetapi juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada Sang Hyang Widhi.
Pemujaan Saraswati juga dipandang sebagai wujud penghormatan terhadap Sang Hyang Bayu yang meliputi gerak, ucapan, dan pikiran manusia. Semua itu menjadi bagian dari proses spiritual untuk menjaga keseimbangan antara ilmu pengetahuan dengan kesadaran diri.
Dengan makna yang begitu mendalam, Hari Raya Saraswati mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan bukan sekadar untuk duniawi, tetapi juga sebagai jalan menuju kebijaksanaan sejati. (TB)