Hari Pemaridan Guru diperingati setiap Sabtu Pon Dungulan, tepat tiga hari setelah Hari Raya Galungan.
Dalam tradisi Hindu di Bali, hari ini memiliki makna yang dalam sebagai waktu untuk menghayati dan mensyukuri anugerah suci dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang dipandang sebagai Guru Sejati atau Guruning Guru.
Secara etimologis, kata “Pemaridan” berasal dari akar kata “marid” yang berarti memohon atau menerima limpahan.
Sementara itu, kata “Guru” merujuk pada Tuhan sebagai sumber segala ilmu dan kebijaksanaan.
Maka, secara keseluruhan, Pemaridan Guru dapat dimaknai sebagai hari suci untuk memohon karunia dan tuntunan spiritual dari Tuhan.
Dalam kepercayaan Hindu, hari ini juga dipercaya sebagai momen ketika para Dewata kembali ke alam sunyi, Sunya Lokha, setelah hadir selama perayaan Galungan.
Sebelum kembali, mereka meninggalkan berkah berupa kadirgayusan—yakni kesehatan, umur panjang, serta arah hidup yang lebih dharmika atau selaras dengan kebaikan dan kebajikan.
Berkah ini diharapkan dapat menjadi bekal bagi umat manusia untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan berkualitas.
Pemaridan Guru tidak hanya menjadi simbol permohonan anugerah, tetapi juga refleksi spiritual untuk menata kembali hidup.
Umat Hindu diajak untuk meningkatkan kesadaran diri, memperbaiki perilaku, dan membangun semangat baru dalam menjalani kehidupan.
Melalui hari suci ini, umat diingatkan bahwa kemenangan sejati bukan hanya dirayakan secara lahiriah, tetapi juga ditandai dengan pendakian spiritual menuju kebijaksanaan, kedamaian, dan keharmonisan hidup.
Pemaridan Guru pun menjadi waktu yang tepat untuk bersyukur dan menata langkah baru dengan penuh kesadaran dan pengabdian.
Inilah esensi dari Hari Pemaridan Guru—sebuah perayaan spiritual yang sarat makna dan pengharapan menuju hidup yang lebih baik. (TB)