![]() |
Pixabay.com |
Dalam tradisi spiritual masyarakat Bali, praktik spiritual dan mistis kerap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk praktik mistis yang memiliki makna khusus adalah “pepasangan”.
Pepasangan dikenal sebagai salah satu bentuk sihir atau energi mistis yang digunakan untuk memengaruhi seseorang melalui benda-benda tertentu yang telah diisi dengan kekuatan gaib. Praktik ini biasanya dilakukan oleh seorang balian (dukun) atau orang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang hal-hal gaib.
Dikutif dari buku Usada Gede, Pepasangan adalah benda tertentu yang diisi dengan kekuatan gaib berupa bentuk atau gambar dan juga mantra-mantra khusus. Benda ini kemudian disembunyikan atau ditanam di tempat yang sangat dekat dengan target, seperti di tanah pekarangan, di muka pintu rumah, di bawah pagar, di ladang, bahkan di dalam rumah. Salah satu tempat paling sering adalah di bawah atau di atas tempat tidur korban, sehingga pengaruh gaibnya lebih kuat.
Benda yang digunakan dalam pepasangan bisa berupa taring hewan, tulang, atau benda lainnya yang memiliki makna simbolis. Untuk memaksimalkan efeknya, benda ini disiapkan pada hari-hari tertentu yang dianggap sakral, seperti hari “Kajeng Kliwon”.
Proses pepasangan melibatkan beberapa tahap penting, yang meliputi:
1. Pembuatan Benda Gaib
Benda seperti taring babi jantan besar atau tulang anjing merah digunakan sebagai media. Benda ini ditulisi dengan simbol-simbol gaib dan nama target yang akan menjadi sasaran.
2. Ritual dan Mantra
Sebelum digunakan, benda tersebut diisi kekuatan gaib melalui pembacaan mantra. Sebagai contoh, taring babi yang telah disiapkan ditanam di depan “Sanggah Kemulan”. Mantra yang diucapkan berisi permohonan kepada roh gaib untuk mencelakakan roh target.
3. Penempatan Benda
Setelah ritus selesai, benda tersebut ditanam atau disembunyikan di lokasi yang dekat dengan target, seperti di dapur, di bawah tempat tidur, atau di sekitar rumah.
Salah satu contoh praktik yang dilakukan adalah dengan menggunakan tulang seekor anjing merah. Tulang ini dibungkus dengan kain “sutra potola” dan daun “sente”, lalu diikat dengan benang merah, putih, dan hitam. Setelah diberi mantra, tulang tersebut ditanam di dapur korban.
Pepasangan dipercaya memiliki kekuatan besar untuk memengaruhi fisik dan mental target. Dalam kepercayaan masyarakat Bali, korban dari pepasangan dapat mengalami penyakit aneh, kehilangan semangat hidup, atau bahkan kematian.
Namun, perlu diingat bahwa pepasangan adalah bentuk sihir yang dianggap negatif dalam spiritualitas Bali. Meskipun sebagian masyarakat masih mempercayai, tindakan ini sering kali melibatkan konsekuensi karma yang diyakini akan kembali kepada pelakunya.
Pepasangan atau papasangan mencerminkan bagaimana tradisi mistis dan spiritualitas di Bali begitu kaya dan kompleks. Meskipun praktik ini masih ada, masyarakat modern mulai melihatnya dari perspektif budaya dan sejarah, bukan sebagai sesuatu yang harus terus dilestarikan secara praktis. Seperti halnya elemen-elemen mistis lainnya, pepasangan adalah bagian dari tradisi yang perlu dipahami dengan bijak tanpa menimbulkan kerugian bagi orang lain. (TB)