Dalam sistem kalender Pawukon Bali, Redite (Minggu) Wage pada wuku Kuningan dikenal sebagai Hari Ulihan.
Hari ini merupakan bagian dari rangkaian suci Galungan dan Kuningan, namun tidak banyak yang merayakan ataupun memahami makna filosofis di baliknya.
Secara bahasa, kata ulihan berarti “kembali”.
Dalam tradisi Hindu Bali, Ulihan dimaknai sebagai saat di mana para Dewata dan roh leluhur kembali ke kahyangan setelah turun ke dunia pada perayaan Galungan dan Kuningan.
Lebih jauh lagi, ulihan juga bermakna melanjutkan tugas dan kewajiban luhur yang diwariskan oleh para leluhur.
Pada Hari Ulihan, umat Hindu menghaturkan persembahan sebagai bentuk rasa syukur dan penghormatan.
Upakara seperti rempah-rempah, berbagai lauk-pauk, beras, serta penganan lain disuguhkan sebagai “oleh-oleh” untuk Dewa Hyang dan para leluhur.
Persembahan ini juga menjadi simbol harapan agar anugerah dan tuntunan ilahi terus menyertai perjalanan umat manusia.
Secara rohani, Ulihan mengajak umat untuk mengenang perjuangan para pendahulu.
Ini adalah saat untuk merenungkan jasa-jasa luhur yang telah membentuk kehidupan manusia masa kini.
Di sisi lain, Ulihan juga menjadi momen refleksi untuk memperbaiki kesalahan masa lalu, agar generasi sekarang tidak mengulanginya.
Pada hari ini, umat Hindu biasanya melaksanakan persembahyangan sederhana di merajan (tempat suci keluarga) atau di kemulan (pelinggih leluhur), dengan menghaturkan canang raka dan soda (ajuman).
Persembahyangan ini ditujukan kepada Sang Hyang Widhi Wasa beserta seluruh manifestasinya, sebagai bentuk permohonan keselamatan dan keberkahan.
Dengan memahami makna terdalam dari Hari Ulihan, umat Hindu diajak tidak hanya sekadar menjalani ritual, tetapi juga menghidupi nilai spiritualnya dalam kehidupan sehari-hari.
Harmoni antara manusia, alam, dan roh leluhur menjadi pesan abadi yang terus relevan hingga kini. (TB)