Bagi masyarakat Bali, Calonarang bukan sekadar tokoh legenda. Ia adalah simbol kekuatan niskala yang lahir dari kemarahan, kesedihan, dan ketidakadilan. Sosok ini kerap muncul dalam tarian sakral di pura, dalam cerita babad, dan kadang—bagi sebagian orang—dalam mimpi.
Ketika seseorang bermimpi melihat Calonarang, banyak yang langsung merasa takut. Namun, dalam tradisi Bali, mimpi semacam ini tidak selalu berarti buruk. Di balik wujudnya yang menyeramkan, Calonarang justru bisa membawa pesan spiritual yang dalam, tergantung dari konteks mimpi dan kondisi batin sang pemimpi.
Dalam ajaran Hindu Bali, Calonarang menggambarkan kekuatan Bhuta Kala — unsur alam liar yang tidak teratur. Ia adalah simbol dari energi negatif yang belum tersucikan, namun bukan berarti jahat sepenuhnya. Energi itu sesungguhnya netral, hanya menjadi destruktif ketika manusia kehilangan keseimbangan antara sekala (lahiriah) dan niskala (batiniah).
Calonarang adalah wujud dari nafsu, amarah, dan kegelapan hati yang bisa ada dalam diri siapa pun. Maka, mimpi bertemu atau melihat Calonarang sering diartikan sebagai peringatan agar seseorang lebih berhati-hati dalam mengendalikan emosi dan pikiran.
Beberapa sulinggih menafsirkan, mimpi ini muncul ketika seseorang sedang banyak beban pikiran, dendam, atau iri hati. Energi negatif itu kemudian termanifestasi dalam wujud Calonarang dalam mimpi — bukan karena roh jahat datang, tetapi karena batin sendiri sedang tidak seimbang.
Dalam primbon Bali, mimpi tentang Calonarang memiliki berbagai makna tergantung pada situasinya.
Jika seseorang bermimpi melihat Calonarang dari jauh, artinya ada hal negatif di sekitar — bisa berupa orang yang iri, lingkungan yang tidak bersih secara spiritual, atau pikiran jahat yang datang dari diri sendiri.
Jika Calonarang dalam mimpi menari atau tertawa, primbon menafsirkan bahwa pemimpi akan melalui masa perubahan besar; mungkin kehilangan sesuatu, tapi di balik itu akan datang kekuatan baru.
Jika bermimpi dikejar atau diserang Calonarang, ini bukan pertanda celaka, melainkan tanda pembersihan. Dalam kepercayaan lokal, roh penjaga diri (atma dan bayu) sedang menolak energi buruk yang menempel di aura pemimpi.
Namun, jika mimpi itu sangat menakutkan hingga membuat terbangun, disarankan melakukan melukat atau sembahyang di merajan untuk menetralisir getaran niskala yang terbawa ke alam sadar.
Dalam filosofi Hindu Bali, setiap energi negatif adalah cermin diri. Calonarang bukan musuh yang harus dimusuhi, melainkan bagian dari diri yang perlu disadari dan disucikan.
Mimpi tentang Calonarang bisa menjadi tanda bahwa seseorang sedang berada di masa ujian spiritual. Alam bawah sadar mengingatkan agar ia menyeimbangkan Tri Kaya Parisudha — pikiran, ucapan, dan perbuatan.
Bila pikiran penuh kebencian, ucapan kasar, atau tindakan menyakiti orang lain, maka unsur Bhuta Kala akan bangkit — dan dalam mimpi bisa menampakkan diri sebagai Calonarang. Dengan menyadarinya, seseorang justru sedang diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri.
Masyarakat Bali memiliki cara tersendiri menghadapi mimpi yang dirasa berat. Biasanya dilakukan banten prayascita, caru alit, atau melukat di pancoran.
Banten kecil seperti canang genten, daksina, dan segehan putih kuning bisa dipersembahkan di halaman rumah atau di sanggah kemulan. Tujuannya bukan mengusir roh jahat, tetapi menyucikan pikiran dan menetralkan vibrasi setelah mimpi tersebut.
Di beberapa daerah seperti Gianyar dan Bangli, orang tua juga memberi nasihat agar tidak langsung menceritakan mimpi Calonarang kepada sembarang orang, karena diyakini energi mimpi masih “panas” dan bisa menular secara batin.
Dalam cerita klasik Bali, Calonarang akhirnya ditaklukkan oleh Mpu Bharadah bukan dengan kekuatan fisik, melainkan dengan ilmu kasih dan pencerahan.
Maknanya, kejahatan tidak pernah benar-benar musnah, tetapi bisa berubah menjadi kekuatan suci bila disadari dan diterangi oleh pengetahuan.
Begitu pula mimpi tentang Calonarang. Ia mengingatkan kita bahwa di dalam setiap manusia selalu ada dua sisi: rahasia gelap dan cahaya suci. Mimpi itu hadir agar kita tidak terjebak dalam kesombongan spiritual, agar terus sadar untuk menyucikan diri.
Jadi, menurut ajaran Hindu dan tafsir primbon Bali, mimpi melihat Calonarang bukan pertanda sial, melainkan peringatan dan proses penyucian batin.
Ia bisa datang saat seseorang sedang goyah, lalai sembahyang, atau dipenuhi amarah. Namun bila disikapi dengan bijak — melalui doa, melukat, dan introspeksi diri — mimpi ini justru menjadi jalan menuju keseimbangan rohani.
Dalam kehidupan masyarakat Bali, setiap hal memiliki makna, bahkan mimpi yang tampak menakutkan sekalipun.
Calonarang hanya datang untuk mengingatkan, bahwa di dalam setiap kegelapan, selalu ada kesempatan untuk menemukan cahaya Dharma. (TB)
