Kuntilanak, sosok hantu perempuan yang sering digambarkan mengenakan gaun putih panjang dengan rambut panjang terurai, menjadi salah satu legenda paling terkenal dalam cerita rakyat Indonesia. Makhluk ini dikenal dengan suara tawa yang menakutkan dan kehadirannya yang seringkali dianggap sebagai pertanda buruk.
Namun, di balik kisahnya yang menyeramkan, terdapat sejarah panjang yang menghubungkan keberadaan kuntilanak dengan perkembangan sebuah kota di Indonesia.
Menurut seorang antropolog asal Jerman, Timo Duile, dalam artikel berjudul Kuntilanak: Ghost Narrative and Malay Modernity in Pontianak, Indonesia, asal-usul kuntilanak dapat ditelusuri kembali ke kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Keberadaan kuntilanak pertama kali tercatat saat masyarakat setempat, yang dipimpin oleh Sultan Syarif Abdurrahim, berupaya mendirikan kota pada tahun 1771 di lokasi pertemuan dua sungai besar: Sungai Kapuas dan Sungai Landak.
Pendirian kota ini dilakukan karena posisi strategis kedua sungai tersebut sebagai jalur transportasi utama. Proses pembangunan kota menggunakan bahan-bahan alami dari sekitar, seperti kayu dan batu, yang diambil dari hutan-hutan sekitar.
Namun, saat para pekerja mulai menebang pohon-pohon besar untuk kebutuhan pembangunan, mereka tiba-tiba mendengar suara melengking dari atas pohon-pohon yang tinggi. Suara ini sangat menakutkan dan membuat para pekerja ketakutan, sehingga mereka segera meninggalkan pekerjaan mereka.
Tidak hanya pekerja yang merasa terganggu, masyarakat lokal dan para nelayan yang melintas di sungai juga melaporkan gangguan serupa. Mereka mengklaim mendengar suara aneh dan merasa diikuti oleh sesuatu yang tidak tampak.
Kabar tentang gangguan dari makhluk tak kasat mata ini akhirnya sampai ke telinga Sultan Syarif Abdurrahim. Menyadari adanya gangguan yang mengancam kenyamanan masyarakat, Sultan bersama pengikutnya memutuskan untuk mengambil tindakan tegas.
Bersama dengan masyarakat, Sultan Syarif Abdurrahim mempersiapkan meriam untuk mengusir kuntilanak yang dianggap sebagai roh jahat. Setelah beberapa kali tembakan meriam, kuntilanak-kuntilanak tersebut akhirnya mundur dan berlarian ke dalam hutan, menjauh dari lokasi pembangunan kota.
Setelah kuntilanak berhasil diusir, pohon-pohon besar yang sebelumnya menjadi tempat tinggal hantu-hantu tersebut ditebang. Kayu dari pohon-pohon itu digunakan untuk membangun Masjid Agung dan beberapa bangunan penting lainnya di kota tersebut. Sebagai penghormatan terhadap peristiwa tersebut, kota yang baru dibangun itu kemudian diberi nama Pontianak, yang berasal dari kata “kuntilanak”.
Seiring berjalannya waktu, pandangan terhadap kuntilanak semakin mengarah pada penafsiran agama, terutama setelah kedatangan Islam di wilayah tersebut.
Masyarakat Melayu modern yang mengadopsi ajaran Islam mulai melihat kuntilanak sebagai makhluk jahat, yang mereka sebut sebagai setan atau iblis. Dalam budaya Melayu, kuntilanak kemudian menjadi simbol dari ancaman supernatural yang mengganggu kehidupan manusia.
Pada masa lalu, tradisi tahunan di Pontianak mengadakan festival dengan menembakkan meriam sebagai simbol pengusiran kuntilanak, mengenang peristiwa yang menjadi asal-usul nama kota tersebut. Namun, tradisi ini perlahan menghilang pada masa pemerintahan Orde Baru, begitu pula dengan penurunan penggunaan meriam tradisional di masyarakat.
Kuntilanak, dengan segala mitos dan legenda yang mengelilinginya, tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita rakyat Indonesia, yang tidak hanya menyeramkan, tetapi juga menyimpan nilai sejarah yang mendalam bagi masyarakat Pontianak. (TB)