Asal-usul Nyepi, Tahun Saka Lahir di India?

Author:
Share
Ist

Setiap
tahun sekali, umat Hindu khususnya di Bali akan merayakan Hari Raya Nyepi. Hari
Raya Nyepi ini dirayakan pada tanggal apisan sasih Kadasa atau hari pertama
pada bulan kesepuluh menurut kalender Bali. Biasanya hari raya ini jatuh pada
bulan Maret ataupun awal bulan April.

Kata
nyepi dari segi etimologi kata berasal dari kata sepi (sipeng) yang berarti
sunyi. Sunyi dimaksudkan dalam konteks ini adalah melaksanakan catur berata
penyepian dengan maksud untuk mencapai keheningan, kesunyian, dan ketenangan.

Ada
beberapa rangkaian terkait hari raya Nyepi ini yakni upacara melasti atau melis
yang dilaksanakan sebelum upacar Tawur Kesanga. Selanjutnya digelar Upacara
Tawur Kesanga yang dilangsungkan sehari sebelum Nyepi, atau pada Tilem Kesanga.
Setelah itu, keesokan harinya barulah dilaksanakan Nyepi. Dan kemudian sehari
setelah Nyepi disebut ngembak geni.

Dikutip
dari buku Nyepi: kebangkitan, toleransi, dan kerukunan yang disusun oleh Nyoman
S. Pendit disebutkan, tahun baru umat Hindu ini diyakini sebagai awal Tahun
Pembaruan, yaitu terjalinnya toleransi umat beragama yang rukun. Keyakinan
tersebut dilatarbelakangi oleh sejarah yang mengatakan, Hari Raya Nyepi ada
karena pertikaian antarsuku bangsa.
India sebagai pelopor agama Hindu, pada abad awal Masehi digambarkan tengah
mengalami konflik antarsuku bangsa. Pertikaian itu terjadi karena keinginan
memperoleh kekuasaan sehingga India silih berganti dipimpin oleh raja-raja dari
beragam suku, di antaranya Pahlawa, Yuwana, Malawa, dan Saka.

Perseteruan
panjang antarsuku bangsa itu berakhir setelah Raja Kaniskha 1, pemimpin suku
Saka yang masyhur, berhasil merukunkan suku-suku tersebut. Oleh karena itu,
sistem kerajaan di India memakai sistem kalender Suku Saka. Setelah sistem
kalender Saka masuk ke dalam Kitab Nagarakertagama, tahun Saka resmi dipakai di
Indonesia.

Dilansir kompas.com Sejarah mencatat tentang perkembangan lahirnya tahun saka
adalah di India. Pada saat itu di India banyak terdapat suku-suku bangsa dan
mereka saling bermusuhan karena ingin menguasai dan menjajah daerah lain.
Suku-suku bangsa tersebut seperti Saka (Scythia), Pahlawa (Parthia), Yueh-chi,
Yawana dan Malawa.

Mereka
berkeinginan saling menundukan satu sama lain dan silih berganti dapat
menguasai. Saat Suku Saka mengalami masa jaya dan digdaya mampu mengalahkan dan
menundukan suku-suku bangsa lainnya. Suku bangsa Saka adalah suku bangsa
pengembara yang terkenal dengan ramah dan riang dalam menghadapi tantangan hidup.

Suatu
saat suku bangsa Saka terdesak oleh suku-suku lain. Kemudian suku bangsa Saka
membuat strategi baru dari perjuangan politik dan militer menjadi kebudayaan.
Karena suku bangsa Saka terkenal dengan kebudayaan yang tinggi benar-benar
memasyarakatkan dan diketahu oleh seluruh lapisan masyarakat. Pada 78 masehi,
seorang dari Dinasti Kusana bernama Raja Kaniska naik tahta. Raja Kaniska
merupakan raja yang bijaksana.

Pada hari Minma tanggal 21 Maret 79, Purnama Waisaka kebetulan gerhana bulan
menetapkan panchanga atau kalender sistem Saka. Itu untuk mengenal kejayaan
dari hari tahunan Saka, merupakan tonggak sejarah yang mampu menutup permusuhan
terjadi antara suku-suku. Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan,
hari pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi,
hari kedamaian sekaligus hari kerukunan nasional.

Guru
Besar Sosiologi Pendidikan, Pascasarjana, Universitas Hindu Indonesia I Ketut
Suda dalam artikelnya Nyepi Sebuah Edukasi menuliskan  perayaan hari raya nyepi diawali dengan
rangkaian upacara melasti (melis), yang dilakukan tiga hari sebelum puncak
upacara nyepi yang memiliki makna penyucian, baik penyucian buana agung maupun
buana alit.

Dalam
Lontar Sundarigama, disebutkan pada hari trio dasi krsna paksa, yakni dua hari
sebelum hari tilem sasih kasanga atau pada hari ketiga belas sesudah bulan
purnama sasih kasanga semua pratima atau pralingga sebagai simbol (niasa)
perwujudan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Hyang Widhi Wasa) diusung ke laut atau ke
sumber mata air terdekat dengan seperangkat upakara dengan tujuan untuk
disucikan. Makna dari persembahan upakara tersebut adalah menghanyutkan semua
kekotoran dunia (anganyutaken laraning jagat paklesa letuhing bhuwana).

Sebelum
Hari Raya Nyepi dilaksanakan tawur atau caru yang dilanjutkan dengan acara
ngerupuk atau menjaga-jaga. Tawur diartikan sebagai membayar atau mengembalikan
sari-sari alam yang telah dihisap dan digunakan manusia. Tujuan tawur adalah
untuk kembali menyeimbangkan sari-sari alam dengan melakukan persembahan kepada
Bhuta. Sehingga tidak menganggu manusia dan bisa hidup secara harmonis atau
berdampingan.

Sebagai puncak perayaan hari raya nyepi umat Hindu, terutama di Bali akan merayakannya
dengan melakukan tapa, brata, yoga, dan semadi. Dalam konteks perayaan hari
raya nyepi brata yang dilakukan umat Hindu meliputi empat larangan atau Catur
Brata Penyepian yakni amati gni, larangan untuk menyalakan api, amati
karya, artinya pada saat perayaan nyepi umat Hindu juga tidak dibolehkan
melakukan berbagai bentuk aktivitas fisik, dengan maksud agar umat dapat fokus
melakukan penyucian rohani dengan melakukan upaya-upaya mulat sarira
(interospeksi diri).

Amati
lelungan, artinya tidak bepergian ke luar rumah dengan harapan melakukan
aktivitas mawas diri melalui kegiatan meditasi dan amati lelanguan, yakni tidak
mengobarkan kesenangan atau tidak mengumbar hawa nafsu, akan tetapi melakukan
pemusatan pikiran dan konsentrasi serta berserah diri kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. Brata ini dilakukan selama satu hari penuh, yakni dari jam 06.00
pagi hingga jam 06.00 pagi besoknya. (TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!