Pasamuhan Alit MKB: Bali di Persimpangan, Ritual Sakral Kini Jadi Komoditas Pariwisata

Author:
Share

“Apakah budaya untuk pariwisata, atau pariwisata untuk budaya?” Pertanyaan tajam itu menggema di Gedung Ksirarnawa, Art Center Denpasar, pada Kamis (23/10/2025). Forum Pasamuhan Alit Kebudayaan Bali 2025 yang digelar Majelis Kebudayaan Bali (MKB) memasuki hari kedua dengan diskusi bernas para pemikir muda Bali—mereka yang hidup di tengah pusaran globalisasi, pariwisata massal, dan krisis identitas.

Empat narasumber hadir: I Ketut Eriadi Ariana (akademisi dan Jero Penyarikan Duuran Batur), I Gusti Rai Ari Temaja (pengelola Tukad Bindu Kesiman), Gede Adrian Mahaputra (pegiat media sosial Bali Nggih), dan I Kadek Wahyudita (budayawan dan kurator). Mereka menyoroti arah pariwisata dan kebudayaan Bali yang dinilai semakin menjauh dari nilai luhur leluhur.

Menurut Eriadi Ariana, wajah pariwisata Bali kini berada di persimpangan berbahaya. Ritual yang dahulu sakral kini kerap tampil hanya sebagai tontonan.

“Kita perlu redesain dan reimajinasi kebudayaan Bali agar tidak kehilangan makna di tengah industri global,” ujarnya.

BACA JUGA  Gubernur Temui Ojol Bali, Disepakati Tak Ada Demo Lagi

Ia mengingatkan, kebudayaan Bali tumbuh dari keseimbangan sakala-niskala—antara dunia nyata dan spiritual. Namun kini, tanah menyempit, natah hilang, dan orientasi budaya semakin seremonial.

Eriadi juga menelusuri jejak imaji pariwisata Bali sejak era kolonial, dari mitos “the last paradise” hingga kini menjadi arena eksploitasi lingkungan dan nilai.

“Kita mungkin bergeser dari pariwisata budaya ke pariwisata lingkungan, tapi belum tentu meninggalkan eksploitasi,” sindirnya.

Gede Adrian Mahaputra membawa diskusi ke ranah digital. Ia menyoroti transformasi budaya dalam era media sosial: dari basa Bali menuju bahasa promosi.

“Swadharma generasi muda terkikis. Hedonisme dan gengsi digital menggantikan nilai-nilai Bali,” katanya.

Adrian menilai, narasi “Bali cinta damai” seringkali menutupi realitas getir: ketimpangan ekonomi, individualisme, hingga pudarnya solidaritas antarwarga.

Ia menambahkan, “Turis asing terlalu didewakan, sementara krama Bali bekerja siang malam di industri wisata tanpa sempat menengok akar budayanya sendiri.”

BACA JUGA  Ni Made Lifia Kristina dan Made Agus Mahendra Terpilih Jadi Jegeg Bagus Bali 2025

Adrian menyerukan agar kepemimpinan di Bali keluar dari politik transaksional, serta mendorong Basa Bali kembali menjadi bahasa ibu dalam pendidikan dan kehidupan sehari-hari. “Tanpa pendidikan nilai, pura hanya jadi tempat ritual, bukan pusat kesadaran,” ujarnya tajam.

Sementara I Gusti Rai Ari Temaja, pengelola Tukad Bindu, mengingatkan bahwa sungai adalah urat nadi peradaban Bali.

“Dari air lahir kebudayaan. Tapi kini kita sibuk berdebat, lupa ngemit (menjaga) air sebagai sumber kehidupan,” ujarnya.

Temaja mengajak masyarakat untuk kembali memiliki arsa, rasa, pengrasa, dan ngeraksa—niat, kesadaran, dan tindakan nyata dalam menjaga alam yang menjadi dasar spiritual budaya Bali.

Budayawan I Kadek Wahyudita mengingatkan bahwa Bali kini berada di ambang krisis besar. Di balik megahnya hotel dan vila, tersembunyi ketimpangan ekologis dan sosial yang akut.

“Alih-alih mewujudkan Tri Hita Karana, Bali justru terperosok dalam krisis ekologis dan eksploitasi budaya besar-besaran,” ungkapnya.

BACA JUGA  Sanur Village Festival 2025 Usung Tema Guna Dusun, Dorong Ekonomi dan Harmoni Masyarakat Sanur

Ia mengutip pepatah Bali: “Ngalih sampi galang bulan, ngalih bati kilangan kemulan.” Artinya, dalam mengejar kemewahan, orang Bali kerap kehilangan akar spiritualnya sendiri.

Solusinya, kata Wahyudita, adalah mengembalikan makna kebudayaan sebagai sumber nilai dan jati diri. “Bali harus berani meneguhkan kembali rohnya, bukan sekadar citranya.”

Prof. Dr. I Komang Sudirga, Ketua Harian MKB, menegaskan bahwa gemerlap pariwisata tak boleh mengorbankan nilai budaya. “Kita perlu membangun rasa jengah, wirang, dan militansi kultural untuk menjaga tanah dan budaya Bali. Kalau tidak, kita akan menyesal,” ujarnya tegas.

Pasamuhan Alit 2025 diharapkan menjadi fondasi kebijakan baru dalam tata kelola kebudayaan Bali—yang tidak lagi tunduk pada logika pasar, melainkan berpijak pada taksu dan kearifan lokal.

“Hasil pasamuhan ini akan menjadi bahan pertimbangan kebijakan pemerintah dalam menjaga dan mengadaptasi warisan budaya Bali di era baru,” tutupnya. (TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!