Bedah Buku Puisi Renganis, Masalah Distribusi Buku Sastra Bali Modern Jadi Perbincangan Hangat

Author:
Share
Buku kumpulan puisi Bali modern, Renganis karya Komang Sujana yang menjadi pemenang Hadiah Sastera Rancage 2025 dibedah di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar, Jumat, 21 Februari 2024 sore.
Acara ini diinisiasi oleh Komunitas Mahima, Suara Saking Bali, dan Komunitas Wartawan dan Penulis Budaya (Kawiya) serangkan Bulan Bahasa Bali tahun 2025.
Budayawan, sastrawan, wartawan, guru, pegiat literasi hingga Penyuluh Bahasa Bali pun hadir dalam diskusi ini.
Selain bedah buku, diskusi yang hangat dan cenderung panas ini juga menyoroti distribusi buku sastra Bali modern (SBM) yang selama ini tak berjalan.
Sebagai pemantik diskusi adalah penulis, kritikus, sekaligus Dekan Fakultas Sastra dan Seni Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) Bali, I Made Sujaya.
Sujaya menilai, selama ini puisi Bali modern masih terjebak dalam tradisi.
Selain itu, juga cenderung menggurui, berisi pitutur, yang seakan tak lengkap tanpa hal itu.
Sehingga ia menduga hal itu secara tak langsung seperti menjadi karakteristik puisi Bali modern.
“Dalam kumpulan puisi Renganis, hal itu juga masih terasa. Padahal puisi Bali juga berakar dari puisi Indonesia, dan puisi Indonesia sudah mengalami loncatan yang jauh,” paparnya.
Terkait dengan Renganis yang menjadi judul kumpulan ini adalah sebuah kesenian yang lahir dari seni mabebasan dan dibubuhi unsur suara alam yakni kodok atau pun enggung.
Dan bagi Sujaya, kesenian tersebut bisa menjadi sebuah inspirasi baru untuk melakukan pendobrakan dalam membuat sebuah puisi.
Sementara itu, Sujaya menilai, kekuatan puisi ini terletak pada bahasa, hal ini bisa jadi dipengaruhi oleh penulisnya yang berasal dari Buleleng yang memiliki struktur bahasa lengkap.
“Saya juga melihat dominasi sajak lirik sangat kuat di sini, seperti bentuk terzina, quatrain,” paparnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga menyinggung distribusi buku sastra Bali modern yang belum bagus.
Padahal di sekolah-sekolah saat ini keberadaan bacaan berbahasa Bali masih sangat kurang.
Sementara penulis buku, Komang Sujana mengatakan dalam buku ini terdapat 66 buah puisi.
Dan sebelum dinyatakan menang Hadiah Rancage, buku ini sempat meraih juara 3 Gerip Maurip.
“Ini adalah buku kedua saya setelah yang pertama Cangkit Den Bukit,” paparnya.
Sebagai seorang guru bahasa Bali, ia ingin memberikan contoh nyata pada siswanya, dan bukan hanya sekadar berteori.
Sementara itu, sastrawan Made Adnyana Ole dalam kesempatan itu juga menyoroti distribusi buku SBM.
Menurutnya, penulis SBM selama ini hanya ngayah dan sulit mencari pembaca.
“Menulis susah, mencari pembaca juga susah. Mereka lebih sering membagikan bukunya secara cuma-cuma dan kadang juga tidak dibaca,” paparnya.
Sehingga diperlukan sebuah regulasi dari pemerintah saat pengadaan buku di sekolah-sekolah.
Karena selama ini pemenang tender selalu dari luar Bali sehingga buku terbitan di Bali apalagi buku SBM tak bisa masuk.
“Seharusnya ada kebijakan, sebelum tender pengadaan buku, diberikan syarat, sekian persen harus ada buku terbitan di Bali dan juga buku berbahasa Bali,” ujarnya.
Dengan begitu, iklim perbukuan di Bali akan lebih hidup karena buku tersebut bisa terdistribusi dengan baik. (TB)
   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!