![]() |
Istimewa |
Ida Ayu Nyoman Rai Srimben merupakan figur yang memiliki perjalanan hidup penuh dinamika, baik sebagai seorang ibu maupun individu yang menginspirasi. Nama Ida Ayu di depan namanya adalah sebuah gelar yang diberikan oleh putranya, Soekarno, sebagai bentuk penghormatan atas peran besar dalam hidupnya.
Ida Ayu Nyoman Rai Srimben lahir pada tahun 1881 di Banjar Bale Agung, Kelurahan Paket Agung, Buleleng, Bali, dari pasangan Nyoman Pasek dan Ni Made Liran. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga Pasek yang kental dengan tradisi Hindu Bali.
Sejak kecil, Srimben hidup di bawah asuhan kakeknya, Jro Mangku Nebel, seorang pemangku di Pura Desa Bale Agung, setelah kedua orang tuanya bercerai. Kehidupan Srimben sempat dekat dengan lingkungan istana, mengingat salah satu keluarganya dipersunting Raja Buleleng.
Namun, invasi Belanda ke Bali membawa perubahan besar, memaksa keluarganya jatuh miskin dan mengungsi ke Bale Agung. Nama Srimben sendiri berasal dari kata “sri” yang berarti kebahagiaan, dan “mben” yang bermakna rimbun, menggambarkan harapan limpahan berkah dan kebahagiaan.
Semasa remaja, Srimben bertemu dengan Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru dari Jawa, yang kemudian menjadi suaminya. Pernikahan mereka berlangsung pada 15 Juni 1887 dan dikaruniai dua anak, yaitu Soekarmini (yang dikenal sebagai Bu Wardoyo) dan Soekarno, yang lahir pada 6 Juni 1901 di Surabaya.
Kehidupan keluarga kecil ini penuh tantangan, terutama ketika mereka harus sering berpindah karena pekerjaan Raden Soekemi. Srimben juga menghadapi masa sulit ketika Soekarno harus tinggal terpisah untuk menempuh pendidikan di Surabaya.
Kedekatan Srimben dengan Soekarno terjalin erat saat mereka tinggal bersama di Blitar. Di sana, ia menjadi pengelola asrama sekolah tempat suaminya bekerja. Peran Srimben sebagai ibu sangat terasa dalam mendukung perjalanan Soekarno sebagai pemimpin masa depan, meskipun ia sering mengalami tekanan, termasuk saat Soekarno dipenjara oleh Belanda. Perjuangan dan ketangguhan Srimben menjadi inspirasi bagi putranya dalam menyatukan Nusantara.
Ketika Soekarno menjadi Presiden Indonesia, Srimben tetap memilih menjalani hidup sederhana. Ia bahkan menolak tinggal di Istana Negara, menunjukkan kerendahan hati dan prinsip hidupnya. Srimben wafat pada 12 September 1958 dan dimakamkan di Blitar, berdampingan dengan makam putranya, Soekarno, dan suaminya, Raden Soekemi.
Nama Ida Ayu yang disematkan oleh Soekarno pada akhir hidup Srimben menjadi simbol penghormatan atas jasa-jasanya. Meski keluarga besar tidak menggunakan gelar tersebut, nama Ida Ayu Nyoman Rai Srimben menjadi kenangan abadi tentang seorang wanita tangguh yang tidak hanya membesarkan seorang pemimpin besar, tetapi juga memberikan warisan nilai-nilai luhur bagi bangsa. (TB)