![]() |
Instagram Coky NTRL |
Dr. Luh Gede Saraswati Putri, S.S., M.Hum., atau yang lebih dikenal sebagai Saras Dewi, adalah sosok yang tidak hanya dikenal sebagai akademisi tetapi juga sebagai penyanyi berbakat dari Bali. Lahir pada 16 September 1983 di Denpasar, Saras tumbuh dan besar di Bali.
Ia merupakan anak sulung dari sepuluh bersaudara dari pasangan yang berbeda keyakinan. Namanya mulai dikenal luas di dunia musik setelah merilis album “Chrysan” pada tahun 2002, dengan lagu andalan “Lembayung Bali.”
Lagu “Lembayung Bali” tidak sekadar lagu biasa, tetapi menjadi simbol kerinduan dan kecintaan Saras terhadap tanah kelahirannya. Dengan lirik yang mendalam dan melodi yang menyentuh, lagu ini berhasil masuk nominasi Anugerah Musik Indonesia (AMI) dalam kategori Best Ballad dan Best Single. Karya ini membuktikan bahwa Saras memiliki bakat besar dalam menyampaikan emosi dan pesan melalui musik.
Selain di dunia musik, Saras Dewi juga meniti karier cemerlang sebagai akademisi. Setelah menyelesaikan pendidikan di Universitas Indonesia (UI), ia melanjutkan pendidikannya hingga meraih gelar doktor di usia 29 tahun. Saras mengawali karier sebagai dosen dengan menjadi dosen luar biasa di sana sejak 2006.
Pada tahun 2009 dia menjadi dosen Pegawai Negeri Sipil untuk Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Pernah menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu Filsafat pada tahun 2010-2016.
Ia dikenal sebagai dosen filsafat di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI dengan mengampu mata kuliah seperti Eksistensialisme, Filsafat Timur, Etika Lingkungan, dan Filsafat Sastra. Dari tahun 2010 hingga 2016, Saras menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu Filsafat di UI.
Di luar dunia akademik dan musik, Saras Dewi aktif dalam gerakan sosial, terutama dalam isu lingkungan dan hak asasi manusia. Pada tahun 2014, ia bersama sejumlah seniman dan aktivis Bali turut serta dalam gerakan Bali Tolak Reklamasi, menentang reklamasi yang dapat merusak keseimbangan alam di Teluk Benoa.
Saras juga vokal dalam isu-isu sosial, termasuk dalam mengadvokasi korban kekerasan seksual. Ia pernah mendampingi korban pelecehan yang dilakukan oleh seorang budayawan ternama, menunjukkan keberpihakannya terhadap keadilan dan hak perempuan.
Selain menulis di berbagai media nasional, Saras telah menerbitkan beberapa buku. Buku pertama adalah kumpulan puisi dengan judul Jiwa Putih pada tahun 2004. Buku kedua merupakan buku nonfiksi tentang Hak Asasi Manusia yang diterbitkan pada tahun 2006 oleh UI Press yang bekerja sama dengan Uni Eropa, sedangkan buku ketiga yang berjudul Cinta Bukan Coklat terbit pada tahun 2010, tahun 2015 berjudul Ekofenomenologi, serta buku lainnya berjudul Kekasih Teluk.
Pada tahun 2018, ia mendapat kehormatan dari Dewan Kesenian Jakarta untuk membawakan pidato kebudayaan berjudul “Sembahyang Bhuvana” di Taman Ismail Marzuki.
Pernikahannya dengan Christopher Bollemeyer atau Coky NTRL juga menjadi simbol bagaimana seni dan pemikiran dapat berjalan beriringan. Dengan latar belakang musik yang berbeda, mereka membangun kehidupan yang harmonis, mencerminkan keselarasan antara musik, filsafat, dan gerakan sosial yang dijalani Saras Dewi. (TB)