Ilustrasi pixabay.com |
Dalam
ajaran agama Hindu khususnya di Bali, tak ada istilah perayaan tahun baru
masehi, akan tetapi merayakan pergantian tahun saka yang biasa disebut Nyepi.
Meskipun demikian, pergantian tahun selalu dirayakan dengan berbagai macam
kegiatan yang penuh kegembiraan. Selain itu perayaan ini juga dilakukan sebagai
sebuah perenungan dan instrospeksi diri serta menyambut lembaran baru di tahun
yang baru.
Akan
tetapi banyak juga yang merayakannya secara berlebihan, semisal mabuk-mabukan,
membunyikan musik keras-keras dan kebut-kebutan di jalan.
Seharusnya
dalam perayaan tahun baru ini, hendaknya masyarakat merayakannya dengan cara
yang berkualitas.
Dilansir
dari Tribun Bali, Ketua PHDI Bali, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana mengimbau
agar umat Hindu merayakan tahun baru tidak dengan kualitas yang rendah. Seperti
dengan jalan mabuk-mabukan yang sifatnya Sad Ripu ataupun hura-hura.
Ia
berharap umat Hindu melakukan tapa bratha, yoga semadhi dan tidak melakukan
perayaan yang sifatnya kebarat-baratan, namun sesuai dengan adab dan norma yang
berlaku di Bali. Sehingga dalam perayaan tahun baru ini akan dapat poin
positif.
Menurutnya,
perayaan tahun baru dengan jalan spiritual jauh lebih tinggi kualitasnya untuk
melawan godaan dalam kehidupan. Juga lakukan evaluasi apa yang perlu
disempurnakan kualitasnya pada tahun sebelumnya. Jika belum sempurna tingkatkan
kualitasnya.
Ia
pun harap umat Hindu Bali semakin rendah hati, damai, rukun, memandang bahwa
seluruh warga, bangsa, masyarakat adalah saudara sehingga tidak terjadi hal-hal
yabg menyebabkan pertikaian. Ia juga mengatakan umat Hindu harus selalu taat
dengan Guru Wisesa, harus mematuhi imbauan dari pemerintah saat perayaan tahun
baru. Menurutnya kualitas perayaan tahun baru akan semakin meningkat jika
dimaknai dengan olah spiritual. Dengan begitu tidak akan ada yang
mabuk-mabukan, karena dilarang oleh agama Hindu termasuk kebut-kebutan di
jalan.
Sementara
itu, dalam agama Hindu khususnya di Bali juga ada perayaan tahun baru yakni
tahun baru saka. Perayaannya dilaksanakan dengan Nyepi. Dilansir dari website
resmi PHDI, disebutkan bahwa hari raya Nyepi sebagai hari raya umat Hindu yang
merupakan puncak identitas umat Hindu karena hari raya suci ini satu-satunya
yang diakui sebagai hari libur nasional yang dimulai tahun 1983.
Hari
raya Nyepi jatuh dalam satu tahun sekali tepatnya pada tahun baru saka. Pada
saat itu matahari menuju garis lintang utara, saat uttarayana yang disebut juga
Devayana yakin waktu yang baik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Lontar
Sang Hyang Aji Swamandala menyatakan bahwa, Tawur (upacara) Bhuta Yadnya atau
Tawur Kesanga sebaiknya diadakan pada tilem bulan Chaitra (Tilem Kesanga),
sehari sebelum hari raya Nyepi dirayakan. Menurut tradisi yang berlaku di Bali,
tata urut upacara Nyepi diawali dengan melasti ke Segara (laut), Ida Bhatara
melinggih di Bale Agung (Pura Desa) selanjutnya dilangsungkan upacara Bhuta
Yadnya (tawur Kesanga), Nyepi, dan sehari setelah hari raya Nyepi disebut
Ngembak Geni.
Pada
saat Nyepi masyarakat diharapkan merenung (mulat sarira) untuk melihat mana
perbuatan baik dan mana yang buruk selama kurun waktu setahun. Saat Nyepi
masyarakat juga melaksanakan catur Berata Penyepian yang berarti empat pedoman
yang telah ditetapkan dan harus dilaksanakan oleh umat Hindu sebagai wujud
pengendalian diri dan mawas diri yang terdiri dari:
1. Amati Geni
Amati
geni mempunyai makna ganda yaitu tidak melaksanakan kegiatan yang berhubungan
dengan menghidupkan api. Disamping itu juga merupakan upaya mengendalikan sikap
prilaku agar tidak dipengaruhi oleh api amarah (kroda) dan loba (serakah).
Menurut Tattwa Hindu (filsafat) yang memaknai simbol Geni sebagai kekuatan dewa
Brahma yang sebagai pencipta. Penciptaan yang terkait dengan hasil pemikiran
seseorang disini perlunya diadakan perenungan, apakah kita sudah
menghasilkan pemikiran untuk kebaikan umat ataukah sebaliknya. Pernyataan
tersebut terungkap dalam berbagai Pustaka Suci Hindu yang mengatakan bahwa
“Keunggulan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, terletak pada proses
pemikiran seseorang yang dapat membedakan sikap prilaku yang baik dan buruk
(Sarasamuscaya: sloka 82). Alat kendali proses berpikir yang paling utama
menurut ajaran Hindu adalah keyakinan terhadap karmaphala (Sarasamuscaya, sloka
74).
2. Amati Lelanguan
Amati
Lelanguan yang dimaksud merupakan kegiatan seseorang untuk mulat sarira atau
mawas diri terhadap kegiatan yang berkaitan dengan wacika. Wacika adalah
perkataan yang benar yang dalam beriteraksi dengan sesamanya maupun dengan
Tuhan sudah dilaksanakan atau belum. Menurut tattwa Hindu dalam pustaka suci
yang terungkap dalam Sarasamuscaya dan Kekawin nitisastra mengajarkan sebagai
berikut: (1) kata-kata menyebabkan sukses dalam hidup; (2) kata-kata
menyebabkan orang gagal dalam hidup; (3) kata-kata menyebabkan orang
mendapat hasil sebagai sumbu kehidupan; dan
(4) kata-kata menyebabkan orang memiliki relasi.
Mengacu pada pemikiran diatas
manusia Hindu telah diajarkan agar tetap melaksanakan wacika yang diparisudha
yang artinya : (a) proses interaksi sosial (komunikasi) tidak boleh berkata
kasar, mencaci maki dan juga tidak boleh menyebabkan orang tersinggung dan
menderita (Sarasamuscaya; Sloka 75). Uraian itu memberikan kita suatu pelajaran
bahwa perkataan (wacika) yang diparisudha itulah yang patut dipahami dan menata
sikap prilaku seseorang agar hidup ini aman dan bahagia.
3. Amati Karya
Amati
Karya sebagai etika Nyepi yang bermaknakan sebagai evoluasi diri dalam kaitan
dengan karya (kerja) merenung hasil kerja dalam setahun dan sebelumnya sudahkah
bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Amati
karya bermakna ganda yang artinya tidak bekerja dan dimaknai sebagai kesempatan
untuk mengevaluasi kerja kita apakah aktivitas kerja itu sudah berlandaskan
dharma atau sebaliknya. Kerja yang baik (Subha karma) dapat menolong manusia
untuk menolong dirinya dari penderitaan.
Kerja juga menyebabkan terjadinya
Jagadhita dan merupakan tabungan moral bagi umat Hindu agar bekerja lebih
gigih, tekun dan produktif. Berdasarkan uraian tersebut, ajaran suci Hindu
memandang bahwa kerja sebagai yadnya dan titah Hyang Widhi; kerja dapat
menolong diri sendiri dan kerja dapat menentukan identitasnya. Aku bekerja,
maka aku ada demikianlah yang diamanatkan oleh umat Hindu.
4. Amati Lelungaan
Amati
lelungaan merupakan salah satu dari empat berata Penyepian yang berfungsi
sebagai evaluasi diri dan sebagai sumber pengendalian diri. Amati lelungaan
berarti menghentikan bepergian ke luar rumah, maka pada saat hari raya Nyepi,
jalan raya sangat sepi. Dalam konteks yang lebih luas hal itu berarti suatu
evaluasi diri.
Evaluasi kerja hubungan dengan Tuhan; evaluasi kerja hubungan
dengan sesama dan hubungan kerja dengan alam sekitar apakah hubungan tersebut
sudah baik atau belum, sehingga kita dapat menilai hasil kerja kita se-obyektif
mungkin. Mutu meningkat untuk kebaikan atau merosot, langkah selanjutnya bisa
menentukan sikap. Diharapkan agar lebih memantapkan kualitas kerja untuk
kualitas hidup manusia. (TB)