Goa Gajah adalah salah satu situs arkeologi paling menarik di Bali yang memiliki sejarah panjang sejak zaman purbakala. Berfungsi sebagai tempat ibadah, Goa Gajah terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, dan berjarak sekitar 27 kilometer dari Kota Denpasar.
Keunikan gua ini terletak pada arsitektur dan artefak yang menggambarkan perpaduan antara kebudayaan Hindu dan Buddha di masa lalu.
Nama Goa Gajah diyakini berasal dari pahatan wajah raksasa di atas mulut gua yang menyerupai muka gajah. Namun, ada juga pendapat lain yang mengaitkannya dengan arca Ganesha, dewa berkepala gajah yang ditemukan di dalam gua.
Nama “Lwa Gajah” pertama kali disebut dalam naskah Kakawin Nagarakretagama yang disusun oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi.
Dalam kakawin tersebut, “Lwa” atau “Lwah” berarti sungai, sehingga “Lwa Gajah” diartikan sebagai Sungai Gajah, yang merujuk pada Sungai Petanu yang mengalir di depan gua.
Keberadaan Goa Gajah mulai menarik perhatian setelah seorang pejabat Hindia Belanda, L.C. Heyting, menemukan arca Ganesha, Trilingga, dan arca Hariti pada tahun 1923.
Penemuan ini mendorong penelitian lanjutan oleh Dr. W.F. Stutterheim pada tahun 1925. Pada tahun 1950, Dinas Purbakala Republik Indonesia melakukan penggalian lebih dalam yang dipimpin oleh J.L. Krijgsman.
Dari penggalian tersebut ditemukan kompleks pemandian kuno dengan enam arca wanita yang memancarkan air dari bagian dadanya, yang dipercaya memiliki vibrasi penyucian bagi pengunjung.
Kompleks Goa Gajah terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu bagian utara yang berhubungan dengan ajaran Hindu dan bagian selatan yang berisi peninggalan Buddha.
Bagian utara berpusat pada candi-gua yang dikenal sebagai Goa Gajah. Gua ini dipahat pada batu padas dengan tinggi 6,75 meter, lebar 8,6 meter, dan menjorok keluar sejauh 5,75 meter.
Relief di mulut gua menggambarkan motif daun-daunan, kera, babi, dan wajah raksasa menyeramkan yang tampak melirik ke kanan.
Di dalam gua, lorong berbentuk huruf “T” membentang sejauh 13,5 meter dengan lebar 2,75 meter dan tinggi 2 meter. Lorong ini memiliki beberapa ceruk yang berisi arca Trilingga dan Ganesha, simbol ajaran Siwa dalam agama Hindu.
Di depan Goa Gajah, terdapat kompleks pemandian suci yang terdiri atas tiga kolam dan enam arca wanita yang memancurkan air dari bagian dadanya. Arca-arca ini berdiri di atas lapik teratai (padma), simbol alam semesta dan stana Hyang Widhi.
Pemandian ini digali dan direkonstruksi pada tahun 1954 setelah ditemukan dalam kondisi tertimbun tanah. Keberadaan pemandian ini terkait dengan konsep Sapta Nadi, yang melambangkan tujuh sungai suci: Gangga, Sindhu, Saraswati, Yamuna, Godawari, Serayu, dan Narmada.
Kompleks bagian selatan Goa Gajah terletak di lembah Tukad Pangkung. Di area ini, terdapat peninggalan Buddha berupa relief besar yang dipahat pada dinding batu.
Salah satu relief menggambarkan stupa bercabang tiga dengan puncak berbentuk payung bersusun. Di dekatnya, terdapat runtuhan fragmen stupa lain dan arca Buddha.
Berdasarkan ciri-cirinya, relief ini diperkirakan berasal dari abad ke-10, lebih tua dibandingkan dengan struktur Goa Gajah di bagian utara.
Salah satu arca menarik di kompleks Goa Gajah adalah arca Hariti, tokoh dari agama Buddha yang awalnya dikenal sebagai makhluk jahat pemangsa anak-anak.
Setelah memeluk ajaran Buddha, Hariti berubah menjadi penyayang anak-anak. Dalam tradisi Bali, Hariti dikenal sebagai Men Brayut atau Nini Brayut, sosok ibu dengan banyak anak.
Goa Gajah bukan sekadar tempat wisata, tetapi juga situs yang menyimpan sejarah panjang peradaban Bali. Keberadaan artefak Hindu dan Buddha mencerminkan harmoni budaya dan agama di masa lalu.
Mengunjungi Goa Gajah memberikan pengalaman mendalam tentang kekayaan sejarah dan spiritualitas Bali yang terus dijaga hingga saat ini. (TB)