Nama Happy Salma sejak lama dikenal publik Indonesia. Sosoknya tak hanya lekat sebagai aktris layar kaca dan layar lebar, tetapi juga sebagai penulis, produser teater, hingga pengusaha perhiasan.
Lebih dari dua dekade berkarya, Happy menunjukkan konsistensi dalam merawat seni dan budaya, sekaligus menapaki perjalanan hidup yang membawa dirinya menjadi bagian dari keluarga bangsawan di Bali.
Happy Salma lahir di Sukabumi, Jawa Barat, pada 4 Januari 1980. Ia merupakan anak dari pasangan H. Dachlan Suhendra dan Hj. Iis Rohaeni. Masa kecilnya dijalani di lingkungan keluarga yang sederhana namun penuh dukungan terhadap minatnya di bidang seni.
Sejak remaja, Happy sudah menunjukkan ketertarikan pada dunia seni peran. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, ia merantau ke Jakarta untuk meniti karier. Sinetron menjadi pintu masuknya di dunia hiburan, sebelum perlahan beranjak ke film layar lebar dan panggung teater.
Popularitas Happy di awal 2000-an membuatnya menjadi salah satu wajah yang akrab di televisi. Namun, ia tidak berhenti hanya di layar kaca.
Minatnya yang kuat pada sastra membawanya menulis kumpulan cerpen “Pulang” (2006) dan “Telaga Fatamorgana” (2008). Ia juga berkolaborasi dengan Pidi Baiq dalam novel “Hanya Salju dan Pisau Batu” (2010).
Tidak puas hanya menulis, Happy menjajal panggung teater. Penampilannya sebagai Nyai Ontosoroh (2007) menjadi titik balik yang memperkuat posisinya di dunia seni pertunjukan. Setelah itu, ia tampil dalam berbagai pementasan penting, termasuk Ronggeng Dukuh Paruk dan Inggit Garnasih.
Pada 2007, ia mendirikan Titimangsa Foundation, sebuah yayasan seni yang konsisten memproduksi karya-karya pementasan bermutu, antara lain Cinta Tak Pernah Sederhana dan Nyanyi Sunyi Revolusi.
Titik penting dalam perjalanan hidup Happy Salma terjadi pada 3 Oktober 2010. Ia menikah dengan Tjokorda Bagus Dwi Santana Kerthyasa, seorang bangsawan dari Puri Saren Kauh, Ubud, Gianyar. Dari pernikahan tersebut, Happy memutuskan memeluk agama Hindu dan menerima gelar Jero Happy Salma Wanasari.
Sejak itu, kehidupannya tak hanya berputar pada seni, tetapi juga menyatu dengan tradisi dan budaya Bali. Dari rumah tangganya, ia dikaruniai dua anak: Tjokorda Sri Kinandari Kerthyasa dan Tjokorda Ngurah Rayidaru Kerthyasa.
Selain seni, Happy Salma juga aktif di bidang bisnis. Ia bersama rekannya mendirikan Tulola Jewelry, sebuah brand perhiasan yang menjadikan kekayaan budaya Nusantara sebagai sumber inspirasi desain. Koleksi Tulola, seperti “Juwita Malam”, dikenal mengangkat kisah dan estetika klasik Indonesia ke ranah mode kontemporer.
Produk Tulola kini tidak hanya digemari masyarakat Indonesia, tetapi juga mulai mendapat perhatian di pasar internasional.
Perjalanan panjang Happy Salma di dunia seni telah diakui dengan berbagai penghargaan. Ia meraih Pemeran Pembantu Wanita Terbaik Festival Film Indonesia (2010), serta dinobatkan sebagai Aktris Terbaik Institut Kesenian Jakarta (2014).
Belakangan, ia juga merambah dunia penyutradaraan dan produksi film pendek, omnibus, serta serial digital. Langkah ini menegaskan kiprahnya yang terus berkembang, tidak hanya sebagai aktris, tetapi juga kreator.
Kini, Happy Salma dikenal sebagai figur multitalenta: aktris, penulis, produser, pengusaha, sekaligus bagian dari keluarga bangsawan Ubud. Perjalanan hidupnya memperlihatkan bagaimana dedikasi pada seni, keberanian mengambil keputusan besar, serta kesetiaan pada nilai budaya mampu membentuk sosok yang inspiratif.
Dari panggung hiburan hingga kehidupan spiritual, dari Jakarta hingga Ubud, jejak Happy Salma menjadi cermin perjalanan seorang perempuan Indonesia yang tak berhenti berkarya dan memberi makna. (TB)