Hari
Raya Kuningan dilaksanakan sepuluh hari setelah Hari Raya Galungan. Tepatnya
dilaksanakan pada Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Kuningan. Kuningan juga disebut
dengan Tumpek Kuningan—karena pertemuan antara saptawara Saniscara dengan pancawara
Kliwon disebut dengan Tumpek.
Raya Kuningan dilaksanakan sepuluh hari setelah Hari Raya Galungan. Tepatnya
dilaksanakan pada Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Kuningan. Kuningan juga disebut
dengan Tumpek Kuningan—karena pertemuan antara saptawara Saniscara dengan pancawara
Kliwon disebut dengan Tumpek.
Seperti
saat Hari Raya Galungan, umat Hindu akan melakukan persembahyangan ke pura
setelah sebelumnya melakukan persembahyangan di sanggah atau pelinggih pada rumah
masing-masing.
saat Hari Raya Galungan, umat Hindu akan melakukan persembahyangan ke pura
setelah sebelumnya melakukan persembahyangan di sanggah atau pelinggih pada rumah
masing-masing.
Wakil
Ketua PHDI Bali, Pinandita Ketut Pasek Swastika mengatakan saat Hari Raya
Kuningan ini pelaksanaan upacara dilaksanakan saat pagi hari dan menghindari
melakukan upacara saat lewat tengah hari (baca: siang hari). Ini sesuai dengan
apa yang termuat dalam lontar Sundarigama yang dijadikan sebagai tuntunan dalam
pelaksanaan hari raya di Bali.
Ketua PHDI Bali, Pinandita Ketut Pasek Swastika mengatakan saat Hari Raya
Kuningan ini pelaksanaan upacara dilaksanakan saat pagi hari dan menghindari
melakukan upacara saat lewat tengah hari (baca: siang hari). Ini sesuai dengan
apa yang termuat dalam lontar Sundarigama yang dijadikan sebagai tuntunan dalam
pelaksanaan hari raya di Bali.
“Pada
tengah hari diyakini para Dewata dan Dewa Pitara akan kembali ke alamnya masing-masing
setelah turun ke Bumi,” katanya. Namun ia menganggap jika ada yang melaksanakan
persembahyangan Kuningan saat sore maupun malam sah-sah saja. Dikarenakan dalam
pelaksanaannya tetap disesuaikan dengan desa (tempat), kala (waktu) dan tattwa
(hakekat).
tengah hari diyakini para Dewata dan Dewa Pitara akan kembali ke alamnya masing-masing
setelah turun ke Bumi,” katanya. Namun ia menganggap jika ada yang melaksanakan
persembahyangan Kuningan saat sore maupun malam sah-sah saja. Dikarenakan dalam
pelaksanaannya tetap disesuaikan dengan desa (tempat), kala (waktu) dan tattwa
(hakekat).
Kuningan merupakan
rangkaian dari Galungan untuk menempa jati diri secara rohani dalam rangka
memenangkan dharma terhadap adharma. Pelaksanaanya tak hanya soal ritual
semata, namun juga secara rohani.
rangkaian dari Galungan untuk menempa jati diri secara rohani dalam rangka
memenangkan dharma terhadap adharma. Pelaksanaanya tak hanya soal ritual
semata, namun juga secara rohani.
Pasek
menambahkan dalam Lontar Sundarigama saat Penampahan Kuningan yang
dilaksanakan sehari sebelum Kuningan atau pada Sukra (Jumat) Wage Kuningan tidak
disebutkan upacara yang mesti dilakukan. Hanya disebutkan: sapuhakena malaning
jnyana. “Artinya lenyapkanlah kekotoran pikiran. Dalam Galungan kekotoran
pikiran ini disebut byaparaning idep
yang harus dilebur dengan Samadhi,” jelasnya.
menambahkan dalam Lontar Sundarigama saat Penampahan Kuningan yang
dilaksanakan sehari sebelum Kuningan atau pada Sukra (Jumat) Wage Kuningan tidak
disebutkan upacara yang mesti dilakukan. Hanya disebutkan: sapuhakena malaning
jnyana. “Artinya lenyapkanlah kekotoran pikiran. Dalam Galungan kekotoran
pikiran ini disebut byaparaning idep
yang harus dilebur dengan Samadhi,” jelasnya.
Dalam
Wariga Krimping yang disusun Made
Purna, Suwidja B.A., dan IB Mayun dipaparkan pada saat Kuningan dipersembahkan
sesajen-sesajen pada pura keluarga yaitu sanggar-sanggar dan pemrajan, dan juga
kuburan. “Salah satu isi dari sajen-sajen itu adalah nasi kuning,” tulisnya.
Wariga Krimping yang disusun Made
Purna, Suwidja B.A., dan IB Mayun dipaparkan pada saat Kuningan dipersembahkan
sesajen-sesajen pada pura keluarga yaitu sanggar-sanggar dan pemrajan, dan juga
kuburan. “Salah satu isi dari sajen-sajen itu adalah nasi kuning,” tulisnya.
Sementara
saat Penampahan Kuningan tidak dilakukan persembahan-persembahan tetapi
pemujaan dan penyucian batin dilakukan dengan meditasi.
saat Penampahan Kuningan tidak dilakukan persembahan-persembahan tetapi
pemujaan dan penyucian batin dilakukan dengan meditasi.
Berdasarkan
laporan riset Komodifikasi Gantung-gantungan
dan Tamiang di Bali yang dilakukan Manik Ciptasari dan Saortua Marbun dan
dimuat di Jurnal Studi Kultural (2018)
Volume III No. 2 disebutkan saat Kuningan identik dengan tamiang yang
berbentuk bulat yang dibuat dari janur.
laporan riset Komodifikasi Gantung-gantungan
dan Tamiang di Bali yang dilakukan Manik Ciptasari dan Saortua Marbun dan
dimuat di Jurnal Studi Kultural (2018)
Volume III No. 2 disebutkan saat Kuningan identik dengan tamiang yang
berbentuk bulat yang dibuat dari janur.
Tamiang
ini sering dipahami sebagai simbol Dewata Nawa Sanga atau Dewa penguasa
sembilan arah angin. Tamiang juga melambangkan rotasi roda alam atau disebut
cakraning yang mengacu pada pemahaman lingkaran kehidupan sebagai putaran roda.
ini sering dipahami sebagai simbol Dewata Nawa Sanga atau Dewa penguasa
sembilan arah angin. Tamiang juga melambangkan rotasi roda alam atau disebut
cakraning yang mengacu pada pemahaman lingkaran kehidupan sebagai putaran roda.
Ketua
Badan Penyiaran Hindu (BPH) Pusat, I Nyoman Widia dalam Hari Raya Kuningan Sebagai Tonggak Meningkatkan Keharmonisan Keluarga di website PHDI Pusat mengatakan Hari Raya Kuningan dimaknai sebangai hari untuk melakukan pemujaan
kepada para leluhur. Dan saat itu umat Hindu melakukan persembahyangan di Sanggah,
Merajan, dan/atau Pura, tiada lain adalah untuk mengucapkan rasa syukur dan
terima kasih.
Badan Penyiaran Hindu (BPH) Pusat, I Nyoman Widia dalam Hari Raya Kuningan Sebagai Tonggak Meningkatkan Keharmonisan Keluarga di website PHDI Pusat mengatakan Hari Raya Kuningan dimaknai sebangai hari untuk melakukan pemujaan
kepada para leluhur. Dan saat itu umat Hindu melakukan persembahyangan di Sanggah,
Merajan, dan/atau Pura, tiada lain adalah untuk mengucapkan rasa syukur dan
terima kasih.
Sepatutnya
juga mengucapkan rasa terima kasih kepada para leluhur. Wujudnya tak hanya
dengan menghaturkan banten (sesajen) dan melakukan persembahyangan, juga yang
lebih penting berkomitmen untuk merawat dan meningkatkan keharmonisan keluarga
besar yang diwariskan para leluhur. “Pada Hari Raya Kuningan inilah waktunya
kita mengevaluasi diri apakah kita sudah memenangkan Dharma tidak hanya
terhadap diri sendiri, tetapi pada lingkup yang lebih luas, yakni keluarga,”
tulisnya.
juga mengucapkan rasa terima kasih kepada para leluhur. Wujudnya tak hanya
dengan menghaturkan banten (sesajen) dan melakukan persembahyangan, juga yang
lebih penting berkomitmen untuk merawat dan meningkatkan keharmonisan keluarga
besar yang diwariskan para leluhur. “Pada Hari Raya Kuningan inilah waktunya
kita mengevaluasi diri apakah kita sudah memenangkan Dharma tidak hanya
terhadap diri sendiri, tetapi pada lingkup yang lebih luas, yakni keluarga,”
tulisnya.
Saat
Hari Raya Kuningan juga ada endongan yang memiliki makna yakni bekal. Sementara
nasi kuning yang dibuat dan dipersembahkan saat Kuningan bermakna kemakmuran
dan sebagai ungkapan syukur atas karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa. (TB)
Hari Raya Kuningan juga ada endongan yang memiliki makna yakni bekal. Sementara
nasi kuning yang dibuat dan dipersembahkan saat Kuningan bermakna kemakmuran
dan sebagai ungkapan syukur atas karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa. (TB)